Untuk Mama, Aku Bertahan
Tangan besarnya itu meraih figura kayu kecil yang terpajang di meja kerja, Naresh menatap lekat senyuman cantik dari wajah seorang wanita paruh baya yang ia rangkul erat di foto itu.
“Mah, Naresh harus gimana sekarang?”
Naresh mengusap wajah Ibundanya lembut,
“Mama udah gak sakit lagi kan disana? Gapapa kalo memang itu yang terbaik untuk Mama, meskipun... Mama harus pergi dalam keadaan tidak adil. Naresh yakin ini semua ada udang di balik batu, Mah, izinkan Naresh usut semuanya sampai tuntas ya...”
Naresh kembali menatap beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja kerjanya, beberapa coretan pola tak menentu yang hanya di mengerti olehnya. Naresh menurunkan kacamatanya dan mengusap wajah frustasi.
Semua kasus yang hendak ia ungkap ini menjadi kompleks. Dari urusan masa lalunya hingga sekarang pun semuanya mengandung misteri hitam yang tak bisa ia biarkan lama.
Dan itu semua karena Papa tirinya, Rangga.
Tak ada yang tahu hubungan Rangga yang sebenarnya dengan Naresh. Orang-orang menganggap kedua pria itu adalah sepasang ayah dan anak, padahal tak ada aliran darah yang mengikat mereka.
Kemana Papa kandung Naresh? Entahlah, bahkan 29 tahun dia hidup, Naresh tak pernah menjumpai rupa Papa kandungnya.
“Seandainya Mama gak menikah dengan Om Rangga, semua ini gak akan terjadi, Mah...”
Flashback, beberapa tahun yang lalu...
“Kanker usus stadium akhir.”
Mata Naresh terbelelak lebar begitu dokter memvonis Mamanya terkena penyakit kanker usus stadium akhir.
“Di bagian sini tumornya sudah mulai membesar dan kalau tidak cepat di tangani, bisa berakibat fatal bahkan dapat menyebar cepat sampai ke otak”Dokter terus menjelaskan rincian penyakit yang di derita Mama Naresh, hati Naresh bergusar hebat.
“Jalan terbaiknya apa, Dok, untuk Mama saya?”
“Satu-satunya jalan untuk menuntaskan semuanya ya kita angkat tumornya, Res, sebelum terlambat.” “Kamu gak usah khawatir, persentase tindakan operasi ini berhasil cukup besar kok, jadi minta Papa kamu untuk segera menandatangani perizinan tindakan operasi agar bisa di tindak cepat juga penyakit Mamanya.”
Tangan lembut Mama Naresh menggenggam erat tangan putra semata wayangnya yang tak berhenti gemetar, lekukan senyum simpulnya memberi isyarat bahwa Mamanya itu akan baik-baik saja.
“Gapapa, sayang, nanti biar Mama yang bicara sama Papa...“tutur Mama Naresh
Naresh menggenggam erat ujung celananya, menahan perih yang merujam dadanya dan berusaha tersenyum juga di hadapan Mama tercintanya.
“Iya, Mah...” “Mama pokoknya harus sembuh, Mama harus lihat Naresh wisuda dan jadi dokter.”
Mama Naresh mengangguk sambil memeluk hangat putranya, “Mama akan selalu menjadi saksi di tiap perjalanan hidupmu, anakku...”
Harapan itu pupus seketika, pada saat penindakan operasi Mama Naresh yang berlangsung sekitar 2-3 jam, wajah muram sang dokter membawa kabar buruk bagi keluarga Naresh disana...
Pertama kalinya, Naresh menangis meraung-raung di hadapan Papa tirinya dan menunjukkan sisi lemahnya.
“DOKTER, DOKTER BILANG PERSENTASE KESEMBUHAN IBU SAYA ITU BESAR TAPI KENAPA BISA GAGAL??!!!”
“Saya minta maaf, Naresh...”
“KALO MEMANG GAK BISA MENJAMIN HIDUP DAN MATI MANUSIA, JANGAN PERNAH KASIH HARAPAN KE ORANG-ORANG YANG BUTUH HARAPAN HIDUP!!!!” “LO PIKIR GUA BEGO HAH?! GUA JUGA ANAK KEDOKTERAN, GUA TAHU SEMUA RESIKONYA, GAK SEGAMPANG ITU!!! HARUSNYA GUA GAK KASIH IZIN MAMA UNTUK DI OPERASI!!!”
“Maaf, Naresh, saya hanya melaksanakan apa yang harus saya lakukan sebagai dokter.” “Tolong tenangkan diri kamu karena banyak berkas yang harus kamu tanda tangani, salah satunya penandatanganan asuransi—”
“Denger ya, dokter gadungan, kalau sampai ada malpraktik atau apapun kesalahan yang buat Mama meninggal... HIDUP LO GAK AKAN GUE BUAT TENANG CATET ITUUU!!!!”
Pria berbaju hijau itu tak menggubris kecaman Naresh yang saat itu masih berusia 23 tahun. Disitu Naresh bersumpah akan terus mencari tahu semua kebenaran di balik kematian Mama tercintanya, belum lagi begitu Naresh mengetahui bahwa uang asuransi Mamanya yang secara mendadak lenyap mengatasnamakan sumbangan yayasan rumah sakit yang merupakan milik keluarga almarhumah Mamanya. Naresh semakin curiga ini semua ada tangan yang turut ikut campur.
“Tapi saya ada wasiat dari almarhumah Mama saya—”
“Mohon maaf, sumbangan ini juga sudah di tandatangani oleh ahli warisnya sendiri.”
“Mbak saya ada surat wasiat resminya—”
“Sekali lagi mohon maaf. Kami tidak bisa melayani permintaan Anda.”
Naresh mengepal tangannya kuat-kuat...
“Rangga brengsek...”
“Kenapa gejala Anela jadi kayak gini...”
Mata Naresh memencak lebar bahkan hatinya gelisah. Ia tak mau dugaannya menjadi kenyataan.
“Gue harus check lagi kondisinya, gue gak mau dugaan gue bener...” “Ah Aisyah ini, jadi perawat kok gak peka banget sih?! Yaudah gue aja yang pergi kesana!”
Naresh segera mengambil kunci mobilnya dan berlari kecil menyusuri lorong menuju parkiran mobilnya.
Ia harus menuntaskan semua kegelisahannya.