2 Pilihan dan 1 Keputusan
Kedua pria berusia 29 tahun itu meneguk ludahnya gugup begitu menghadap langsung sosok Haidar yang tak berhenti menatapnya tajam. Naresh benar, abangnya Aisyah benar-benar menyeramkan, pikir Arif.
“Sepenting apa laporan yang mau kalian ambil dari adik saya sampai datang malam-malam gini dan mengganggu waktu istirahat adik saya?“desis Haidar.
“Penting, Pak, soalnya besok saya sudah harus memberikan surat rujuk pulang sesuai kondisi pasien yang ada di laporan itu”jawab Arif berusaha tenang.
“Kenapa gak minta dikirim via ojek online aja?”
Arif skakmat. Ia tak berpikir sampai situ karena keinginannya untuk bertemu Aisyah itu sangat besar.
Tak lama mereka di introgasi, Aisyah dengan jaket tebalnya hadir di hadapan mereka. Wajahnya memerah, matanya sayu dan langkahnya sangat lemas.
“Saya udah print format wordnya, silahkan dokter...“ucap Aisyah purau.
Arif langsung berdiri, “Aisyah, kayaknya kamu gak cuman kecapekan deh. Apa yang kamu rasain sekarang?“tanya Arif khawatir.
“Uh... demam, agak mual juga... suara saya kurang enak juga, terus pusing...”
“Nafsu makan kamu gimana?“sergah Naresh.
“Nafsu makan saya berkurang sih, tapi saya lagi berusaha minum vitamin.”
Naresh tak mau kalah dari Arif, ia langsung menarik tangan Aisyah dan melihat kondisi gadis itu dari telapak tangannya.
“Pola makan kamu gak teratur ya?“tanya Naresh.
“Uh... biasanya teratur tapi memang akhir-akhir ini saya makannya kurang teratur dan kurang dijaga makanannya...”
“Coba kamu baring dulu di kamar, biar saya cek kondisi kamu.”
Naresh menuntun Aisyah ke kamarnya dan kedua pria di belakangnya ikut mendampingi Aisyah dalam proses pemeriksaan kondisi tubuhnya. Begitu Aisyah sudah berbaring di tempat tidurnya, Naresh siap-siap menggunakan sarung tangan lateksnya dan mulai proses pemeriksaannya.
“Permisi ya, saya cek dulu kondisi kamu”ucap Naresh lembut, lalu di balas dengan anggukan kecil Aisyah.
Naresh mulai menggunakan stetoskopnya ke detak jantung Aisyah yang mungkin saat ini sedang berdetak kencang. Jujur saja, kalau mengikuti kata hati, Dokter Naresh di mata Aisyah saat ini masih sama sosok Kak Naresh yang dulu ia kagumi.
Hanya saja sekat realita yang membatasi mereka.
Naresh membuka satu sarung tangannya, “Maaf Aisyah, saya mau cek suhu tubuh kamu. Permisi ya?“tanya Naresh meminta izin, dan Aisyah lagi-lagi membalasnya dengan anggukan kepala kecil. Naresh meletakkan punggung tangannya di kening Aisyah, dan Aisyah bisa merasakan seluruh pembuluh darahnya saat ini sedang meletup-letup kepanasan.
“Gejala tifus, harus bed rest total.”
Naresh langsung merapihkan semua peralatannya.
“Ada dua pilihan untuk kamu, di rawat di rumah sakit dan dapat penanganan khusus disana biar cepat sembuh atau istirahat di rumah selama seminggu tapi kamu benar-benar istirahat gak boleh mikir yang berat-berat.” “Kebetulan staff rumah sakit kami dapat jaminan fasilitas kesehatan disana, jadi ya kalo kamu mau, kamu bisa di rawat di sana. Kamu pilih mana?”
Haidar mendongak kepalanya ke Aisyah, “Terserah kamu, kalau kamu bisa atur diri di rumah juga gapapa.”
Aisyah menghela nafas, “Saya... di rumah aja, Dok, saya memang butuh waktu istirahat yang betul-betul istirahat...”
“Emang di rumah sakit kamu gak istirahat?”
“Ya tapi saya lebih nyaman di rumah aja...”
Naresh mengangguk paham, “Ya sudah, kalau gitu resepnya saya kasih besok gapapa? Sekarang saya kasih obat yang saya bawa dulu.”
Haidar menyergah, “Kirim obatnya via ojek online aja biar kamu gak usah repot-repot ke rumah terus.”
Naresh hanya terkekeh, “Iya, Bang, saya tahu... paling saya cek lagi kondisi Aisyah 2 hari sekali, sisanya via chat bisa ya, Syah?”
“Iya, Dok...”
Naresh memeriksa jam arlojinya, “Sudah malam ya, padahal ada yang mau saya bicarakan sama Aisyah tapi nanti aja kalau gitu. Kita bicara via chat aja ya?”
“Ah iya, baik, Dok...”
Naresh menarik lengan Arif, “Kalau gitu kami permisi ya, Bang, Syah, Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam.”
“Aisyah cepet sembuh ya! Sampai ketemu nanti di rumah sakit!“sahut Arif di tengah ia diseret keluar oleh Naresh. Aisyah membalasnya dengan senyuman pasi, karena menghadapi situasi tadi sangat melelahkan bagi Aisyah.
“Syah... Syah... makin gede saya makin harus jaga kamu dua kali lipat...“celetuk Haidar, “Kalau mereka macem-macem sama kamu atau berusaha modus bilang Abang ya, biar Abang yang kasih batasan sama mereka.”
Aisyah terkekeh, “Iya, Bang... aku juga tahu batasan kok... makanya minta Abang pulang...”
Haidar menghela nafasnya panjang, “Ya sudah, sana kamu masuk ke kamar lagi. Istirahat yang bener.”
“Siap, Bang!”
Aisyah, Aisyah... yang buat saya harus jaga kamu tuh bukan karena laki-lakinya, tapi kepolosan kamu yang tidak peka dengan sinyal laki-laki.