Consequences
Aisyah gemetar begitu ia sudah sampai di depan pintu kayu putih berdesain modern itu. Tulisan nama 'Dr. Naresh Ishaaq, Sp.B-KBR' itu membuat jantungnya tak berhenti berdesir, sudah pasti Aisyah melakukan kesalahan yang fatal meskipun ia tak tahu apa yang tlah ia lakukan.
Tok...tok...
“Masuk!!”
Suara Naresh sungguh menggelegar, Aisyah dibuat bingung kenapa nada suara atasannya itu terdengar seperti orang murka.
Aisyah memasuki ruangan Naresh perlahan dan mendapati sambutan tatapan tajam Naresh yang membuatnya bergedik ngeri. Naresh berdiri dan menutup pintunya cepat sambil menguncinya rapat. Aisyah menelan ludahnya bulat-bulat. Hari ini dia membuat kesalahan fatal sepertinya.
“Duduk”titah Naresh lugas, lalu Aisyah duduk di hadapan Naresh dan menundukkan kepalanya takut.
“Kamu tau kenapa saya manggil kamu sekarang?“tanya Naresh.
“Uh... kayaknya... saya buat kesalahan fatal hari ini...”
“Memang, sangat fatal.”
Duh mampus deh...
“Kamu diam-diam suka gosip ya?”
Mata Aisyah memencak lebar, gadis itu langsung menyadari apa kesalahan yang telah ia perbuat hari ini. Ternyata masalah itu.
“A-Ah bukan gitu, Kak—”
“Ini di rumah sakit, panggil saya Dokter Naresh!“kecam Naresh.
Jantung Aisyah rasanya mau merosot ke bawah, tatapan Naresh saat ini sangat menyeramkan.
“Saya... niatnya bukan mau gosip, tapi... maksud saya tuh biar teman-teman saya gak bicara yang enggak-enggak soal kita, Dok...”
“Bicara yang enggak-enggak gimana? Emang kita habis ngapain, hah?!”
“Mereka tahu saya sakit di rawat sama Dokter Naresh dan mereka langsung ceng-cengin saya dengan Dokter, ya saya kan tahu Dokter itu sudah tunangan jadi saya gak enak di ceng-cengin gitu... maksud saya kayak menegaskan kembali gitu, Dok... eh ternyata mereka gak tahu kalau Dokter itu sudah tunangan...”
Naresh mendecih sinis, “Pertanyaan saya satu, kenapa kamu begitu responsif dengan ejekan-ejekan picisan kayak gitu? Memangnya kamu masih SMA? Kamu tuh paling gak bisa ya bersikap bodo amat?”
“Ya soalnya itu bisa jadi fitnah, Dokter... saya kan gak mau orang-orang mandang kita seperti apa disini. Bukannya Dokter sendiri yang bilang kita harus profesional di tempat kerja?”
Naresh mengusap wajahnya frustasi. Emosinya sudah memuncak ke ubun-ubunnya namun ia masih berusaha untuk menjernihkan kepalanya agar bisa memikirkan strategi yang pas untuk rencananya.
“Kamu tahu, Aisyah? Karena mulut kamu yang ember itu kamu merusak rencana saya. Seharusnya status saya yang sudah bertunangan ini tidak tersebar luas ke tempat kerja saya, karena saya... sedang mengusut suatu perkara besar disini.”
Aisyah mendelik, “Ma-Maksud, Dokter...?”
BRAK!! Naresh menggebrak mejanya, “Kalau gitu, karena kamu sudah mengacaukan semuanya, kamu harus bantu saya menyelesaikannya, Aisyah.”
Naresh langsung mengambil satu file plastik berwarna hijau di atas lacinya dan menghentakkannya di hadapan Aisyah.
“Baca satu per satu, coba pahami.”
Aisyah membuka file itu perlahan dan membaca satu per satu kertas yang berisikan informasi-informasi seperti penjelasan obat dan narkotika, kumpulan koran-koran berita lama, dan juga lembar keuangan yang disitu mencuri perhatian Aisyah.
“Ini apa dok? Kok ada nama Bang Haidar?“tanya Aisyah heran.
“Itu yang sedang saya usut.” “Saya sengaja memanggil kamu kesini untuk membicarakan soal ini, kebetulan juga kamu abis bikin ulah jadi kamu gak bisa nolak permintaan saya, karena ini... menyangkut nasib Abang kamu dan seluruh keluarga Soetomo.”
“Hah? Maksud Dokter apa? Abang saya emangnya kenapa?”
Naresh menghela nafas panjang, “Abang kamu terlibat kasus pengedaran obat ilegal, Syah.”
Jantung Aisyah langsung berhenti berdetak. Bola matanya membesar dan mulutnya bergetar tak mampu berkata-kata.
“Saya tahu abang kamu gak mungkin melakukan itu, tapi untuk membuktikan itu juga kita harus cari pelaku yang sebenarnya, selain Papa tiri saya.”
Aisyah semakin shock, “Hah? Papa tirinya... Dokter Naresh?”
“Iya, Papa tiri saya salah satu dalang dari kasus ini,” Naresh merendahkan tubuhnya, “Dan kasus ini berawal dari kematian Mama saya, Syah.”
Naresh kembali mengambil beberapa lembar kertas yang menampilkan anatomi tubuh beserta coret-coretannya.
“Saya mempelajari semuanya hampir 4 tahun lebih, dan yang saya dapatkan ini...”
Disitu Naresh menunjukkan tulisan merah besar...
PEMBUNUHAN BERENCANA
“Hah... pe-pembunuhan... dok, kok... bisa jadi gini...?”
“Inget gak waktu kamu mukulin saya sampe saya pingsan?”
Aisyah mengangguk cepat, “I-Iya.”
“Itu saya lagi berusaha mencuri kode akses rekam medis Mama saya yang ada di web rumah sakit, karena kode aksesnya cuman bisa di akses oleh Papa tiri saya.” “Disitu gak cuman ada rekam medis, dari riwayat hidupnya sampai surat wasiat Mama saya yang tersembunyi ada di situ semua dan... Dokter Rangga dengan gegabah mencuri semuanya dari saya.”
Naresh menarik kursinya dan duduk di depan Aisyah, “Aisyah, saya butuh bantuan kamu. Jangan sampai abang kamu mendapat nasib yang tidak adil karena kejahatan yang diperbuat dia.” “Gak cuman nasib abang kamu, tapi nasib Anela, kedua anaknya dan orang-orang sekitarnya. Juga nasib saya dan almarhumah Mama saya yang harus mati secara tidak adil.” “Kalau kejahatan Papa tiri saya dibiarkan, semuanya bisa berbuntut panjang, Aisyah, banyak masa depan orang yang dia hancurkan hanya demi uang dan kekuasaan. Kita harus hentikan semuanya, Aisyah.”
Rasa takut yang mendominasi hatinya membuat bibir gadis itu kelu di tempat. Ia masih belum bisa percaya seratus persen dengan semua fakta yang di ungkapkan Naresh.
“Gini aja, Syah, saya tahu kamu masih belum bisa percaya ini semua tapi saya mohon sekali sama kamu. Jangan sampai pembicaraan kita bocor keluar, tolong, tahan diri kamu.”
“Saya tahu dok, saya gak seceroboh itu juga—”
“Bawa semua file-file ini dan tolong pahami sekali lagi. Saya benar-benar butuh bantuan kamu, Aisyah.”
Naresh menyeret file hijau dan tumpukkan kertasnya itu ke hadapan Aisyah, dengan kikuk tangan mungilnya terpaksa harus menerima kertas yang di percayakan Naresh kepadanya.
“Saya harap besok kamu sudah bisa ikut bekerjasama dengan saya.”
Kepala Aisyah tak bisa berhenti berputar.