Makan Malam Keluarga
Di kediaman Haidar, suasana hangat keluarga mereka kini kembali. Meskipun Anela sudah diperbolehkan untuk pulang, tapi ia harus istirahat total dan menjaga ketat makanannya, tentu saja Haidar sang suami yang akhirnya mengambil alih sementara semua pekerjaan rumah disini dengan bantuan Aisyah dan Mpok Yati.
“Mas... ngopi dulu sini udah aku buatin,” sahut Anela dengan suara lembutnya. Yang dipanggil kaget begitu istrinya malah membawa kopi untuknya di saat ia harusnya beristirahat.
“Maryam, kamu jangan banyak gerak dulu! Duduk sini!” ujar Haidar sambil menepuk kursi di sampingnya dan Anela otomatis duduk disana lalu menyandarkan kepalanya di bahu lebar sang suami.
Aisyah dari belakang terhenyak dengan momen romantis antara Haidar dan Anela disana. Hatinya berbisik bahwa ia juga menginginkan momen itu terjadi pada dirinya...
Sekelibat bayangan wajah Naresh hadir di kepalanya.
Cepat-cepat Aisyah menepis pikirannya dan kembali fokus menata meja makan, Kok bisa-bisanya sih gue ngebayangin dia?! Argh, kacau banget!!
“Aisyah, sini biar Mama yang bawa ayamnya,” Mama Anela langsung mengambil makanan yang di bawa Aisyah, “Kamu kok bengong gitu, ada apa nak?”
Keluarga Anela memang sudah seperti keluarga Aisyah juga. Papa-Mama Anela yang mengetahui Aisyah ini anak yatim-piatu, mereka berusaha memposisikan dirinya sebagai orang tua Aisyah juga, bahkan mereka menghadiri wisuda Aisyah dari kelulusan SMA sampai Sarjana.
“A-Ah enggak, Mah...”
Mama Anela tersenyum penuh arti, “Kamu cantik sekali hari ini, kok pake dandan segala mau makan malam keluarga?” “Karena ada Dokter Naresh ya?”
Aisyah langsung menganga kaget begitu Mama Anela menebak situasi dirinya, “E-Enggak, kok! Ya-ya... Aisyah mau dandan aja, Ma!”
“Masa? Mama denger dari Anela, kamu deket sama Dokter Naresh, makanya Mama berani undang Dokter Naresh karena dia deket sama kamu. Jadi gak canggung-canggung amat lah, ada topik sedikit, ya gak, Syah? Hihihi”
Oh ternyata ini semua karena mulut embernya Anela.
“Mama ih... Aisyah deket sama Dokter Naresh sebagai rekan kerja aja, bukan yang lain...”
“Kalo yang lain juga gapapa, toh kamu udah cukup usianya untuk menikah. Anela aja menikah di usia 20, Syah.”
“Mama...!!”
Mama Anela terpingkal-pingkal melihat reaksi Aisyah yang terus di buat salah tingkah karena topik Naresh.
“Assalamualaikum...”
Suara bariton dari pintu depan membuat Aisyah terperanjat di tempat. Cepat-cepat gadis itu menyelesaikan pekerjaannya dan bersembunyi dulu di kamarnya. Sosok Naresh dengan setelan jas hitam dan kemeja biru dongker di dalamnya itu berjalan gagah sambil membawa satu cake besar untuk keluarga Anela.
“Wah, Dokter... repot-repot bawa cake segala nih...” sambut Mama Anela.
“Iya, Tante... gak enak kalo saya tangan kosong kesini, hahaha...”
“Sebentar ya, Aisyah sayang... keluar nak, ini Dokter Naresh udah dateng...!” Mama Anela ketawa cekikikan, “Dokter silahkan duduk disitu, sebentar lagi semuanya udah siap dan kita bisa mulai makan malamnya!”
“Ah iya, baik, Tante, terima kasih...”
Mama Anela pergi lagi ke dapur belakang, dan begitu Naresh menoleh ke arah belakang, matanya terbelelak lebar dengan kehadiran Aisyah dengan gamis cantik berwarna putih dan kerudung pashmina berwarna pink pastel modis. Gadis itu terlihat sangat cantik di matanya.
“Ehem.”
Dehaman singkat Haidar langsung menyadarkan Naresh dari lamunannya. Seperti biasa, sang kakak yang siap siaga itu sudah mencium niat lelaki ini terhadap adik perempuan semata wayangnya itu.
“Wah, Res, rapih betul kamu padahal cuman casual dinner kayak gini,” cicir Haidar.
“Hahaha, buat saya mah casual dinner tetep harus rapih, Bang,” Naresh mendekat ke Haidar, “Cuman kurang seserahan aja, Bang.”
“Naresh saya gak segan-segan pukul kamu disini jangan bikin saya naik pitam.”
Naresh tertawa terbahak-bahak.
“Ih, Mas Haidar! Kok kamu galak gitu sih sama Naresh?!” dari kejauhan sana Anela bisa melihat suaminya itu sedang mengecam Naresh, “Kasihan Aisyah, nanti kalo dia susah nikah, kamu yang repot lho!”
“Lho, justru disini saya uji mentalnya, kalau dia bisa menghadapi saya dan datang melamar langsung Aisyah di hadapan saya, berarti dia udah lolos dari penyeleksian saya.”
Dengan ketawa miringnya, Naresh menjawab, “Yah gawat, Bang, kalau gitu mah, saya udah dapet free pass langsung. Saya kan udah ngadepin galaknya Bang Haidar bertahun-tahun.”
Haidar mendecih, “Kalau gitu kita adu fisik aja, mau di belakang?”
Naresh tertawa lagi sampai menepuk bahunya Haidar dan Haidar sendiri juga menanggapinya dengan bercanda. Segalak-galaknya Haidar memperlakukan Naresh, pria berusia 34 tahun itu sangat bangga memiliki murid seperti Naresh. Di memorinya ia masih ingat betul bagaimana pemuda itu berusaha keras untuk belajar membaca Al-Qur'an, menghafalnya hingga tamat lalu mengkajinya sama-sama. Pemuda ini memiliki sedikit kesamaan dengan sosok istrinya, yaitu gigih dalam berhijrah. Haidar pikir, dulu Naresh hanya main-main mau belajar Al-Qur'an karena ingin menggoda adiknya tapi ternyata dia salah.
Bisa jadi hafalan Naresh sekarang sudah jauh lebih banyak di banding Aisyah.
Akhirnya acara makan malam di mulai, Haidar seperti biasa yang memimpin doa sekaligus memberikan sedikit sambutan kepada Naresh sebagai tamu disana, lalu setelah selesai akhirnya Aisyah dan Mama Anela menyajikan nasinya satu per satu.
“Ah, Maaf, Aisyah... saya gak banyak makan nasi kalau malam. Satu centong aja cukup,” pinta Naresh, diikuti oleh anggukan Aisyah dan gadis itu langsung menyajikan sepiring nasi sesuai permintaan Naresh.
Anela sejak tadi gak berhenti tertawa geli melihat kebersamaan adik iparnya bersama pemuda di sampingnya. Aisyah dengan telitinya mengambil lauk pauk untuk Naresh bak pasangan suami-istri baru menikah.
“Kamu kenapa sih, dek? Ketawa-ketawa sendiri gitu,” bisik Haidar.
“Lihat deh, Mas, lucu banget gak sih, Naresh sama Aisyah? Aku gemes banget...” balas Anela.
Haidar ikut menatap momen kebersamaan Aisyah bersama Naresh, memang pria itu bisa merasakan aura kasmaran antara mereka itu sangat kuat, tapi tetap saja... jangan pikir dia bisa melaluinya dengan mudah untuk mendapatkan hati adik kesayangannya itu.
“Dokter Naresh,” panggil Papa Anela.
“Iya, Om?” yang dipanggil menyahut.
“Kamu sudah menikah?”
Ohok! Naresh langsung tersedak kecil dan cepat meneguk minumnya, “Be-belum, Om...”
“Punya gandengan? Pacar?”
“E-Enggak, Om...”
“Serius?”
“Iya...”
Papa Anela menoleh ke Aisyah, “Kalau gitu, sedekat apa hubungan kamu sama Aisyah?”
Aisyah melotot ke arah Papa Anela, “Pa-Papa...!”
Naresh memandang kedua netra gadis cantik di sampingnya itu penuh arti, “Sedekat apa ya? Aisyah itu perawat junior di rumah sakit kami dan kebetulan kita sering kerja bareng jadi ya hubungan kita memang lebih dekat dari yang lainnya, Om.”
Papa Anela hanya menjawab oh ria, Mama Anela yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik keduanya itu tak puas dengan jawaban Naresh barusan, tapi biarlah waktu yang menjawab nanti. Siapa tahu jawaban itu akan berubah menjadi lebih spesial dari sebelumnya.
Setelah makan malam selesai, Naresh di ajak ngobrol oleh Haidar di taman belakang rumahnya dengan secangkir kopi susu yang di hidangkan Mpok Yati.
“Alhamdulillah, sekarang istri saya sudah sehat dan sedikit lagi menjalani pengobatan untuk penyakitnya. Terima kasih, Res, untuk bantuannya selama ini,” Mereka saling menjabat tangan.
“Sama-sama, Bang, semoga Anela sehat selalu ya.”
Mereka tertawa kecil bersama.
“Res.”
“Ya, Bang?”
“Kamu suka sama Aisyah?”
Naresh tersontak dengan pertanyaan to-the-point Haidar.
“Jawab aja yang jujur, saya gak mood mukulin orang kok.”
Naresh terkekeh, “Hmm... gimana ya,” Naresh menggaruk kepalanya bingung.
“Jawab iya apa enggak, susah amat sih.”
Pemuda itu menghela nafas panjang, “Iya, Bang... saya... suka sama Aisyah.”
Haidar memposisikan tubuhnya, “Mau bagian mana dulu, Res?”
“Apanya?”
“Yang mau saya pukul.”
Keduanya tertawa renyah, “Bercanda, saya paham” lanjut Haidar sambil meneguk kopinya, “Kalau gitu banyak hal yang harus saya kasih tahu soal Aisyah.” “Aisyah itu... adik saya yang ceroboh dan tidak peka. Dari kecil, anak itu di manja oleh orang tuanya beda dengan saya yang di didik untuk menjadi punggung harapan keluarga, tapi semenjak kedua orang tua kami meninggal dunia... Aisyah berusaha kuat sendirian dan menjadi mandiri dengan kekuatannya sendiri. Saya ingat betul, dulu Aisyah tuh ikut acara pentas seni waktu kelas 5 SD jadi harus menampilkan karya seni di atas panggung dan kebetulan itu bertepatan dengan hari ibu, maka karya seninya itu harus bertemakan kasih sayang seorang ibu. Semua teman-temannya mengajak ibunya untuk naik di atas panggung dan menampilkan betapa sayangnya mereka kepada ibu mereka tapi Aisyah, dia gak bisa. Dia cuman bawa selembar foto kebersamaannya waktu kecil dengan Umi, lalu melantunkan surat Ar-Rahman dengan merdu. Begitu selesai, dia lari memeluk saya dan menangis meraung-raung karena merindukan Ibunya. Dia bilang, dia gak bisa mempersembahkan puisi atau sajak untuk Ibunya tapi ia hanya bisa mempersembahkan hafalannya di atas panggung untuk kebahagiaan Ibunya di syurga.” “Sejak saat itu Aisyah bertekad, bahwa ia harus kuat bertahan hidup menjadi anak yang mandiri, gak banyak rewel bahkan dia suka memendam kesedihannya sendiri. Kamu inget kan waktu dulu Aisyah di sakit di IGD rumah sakit waktu itu?”
“Oh iya, inget, Bang...”
“Itu karena dia berantem sama saya dan kebetulan sekali, saya dapat SMS dari pesantrennya bahwa Aisyah itu habis terkena masalah dengan kawan sekamarnya. Seharusnya Aisyah gak libur dulu pada saat itu, tapi gurunya yang minta Aisyah untuk menenangkan diri di rumahnya. Jadi sebenarnya tuh dia bawa masalah dari pondok ke rumah, tapi dia pendam sendiri dulu, mana lagi itu bertepatan Abi saya meninggal.” “Ya ternyata adik saya melalui banyak hal berat selama ini, jadi... saya sebagai Abang harus bertanggung jawab melindungi adik saya agar tidak tersakiti sedikit pun apalagi oleh laki-laki.” “Saya paling gak mau adik saya merasakan sakitnya patah hati, makanya saya pantau terus laki-laki yang dekat dengan Aisyah. Setidaknya saya harus tahu siapa orang itu, kalau misalnya adik saya kenapa-kenapa karena laki-laki itu, saya bisa langsung gebukin dia.”
Wah, gila... kalau cowok lain yang deketin Aisyah mah bisa dibuat ketar-ketir gara-gara Bang Haidar.
“Saya ngomong gini bukan untuk menakut-nakuti kamu, Res, tapi kalau seandainya kamu memang suka dengan adik saya dan punya niat serius dengan adik saya, saya mohon dengan sangat... jaga hatinya. Aisyah itu kelihatannya aja kayak cuek bebek, tapi aslinya dia sangat sensitif. Dia sering sekali mendahulukan orang dibandingkan dirinya.”
Naresh menarik nafasnya panjang.
“Iya, Bang... saya paham.”
“Jadi kapan?”
“Kapan... apanya?”
“Datang kesini lagi untuk melamar?”
Pertanyaan Haidar lagi-lagi menohok dada pemuda bermata hazel itu.
“Sebentar lagi, begitu semua urusan saya selesai, saya akan langsung datang kesini untuk melamar, Bang.”
“Kira-kira urusan apa itu yang lebih penting daripada urusan hati adik saya?”
Naresh tersenyum simpul, “Saya harus mengusut satu dua hal menyangkut masa depan rumah sakit keluarga saya dan juga... ibu saya.” “Ah ya, Bang, kalau boleh... kita diskusi bisa? Maksudnya, banyak hal yang ingin saya diskusikan sama Bang Haidar soal bisnis karena kebetulan rumah sakit saya kerjasama dengan perusahaan farmasi milik Pak Indra sejak lama.”
Haidar langsung menderu desahnya, “Hah... justru itu, Res, kondisi perusahaan kacau karena ada transaksi tak terduga dari orang kepercayaan saya. Jadi saya masih harus menstabilkan dulu kondisi perusahaan sebelum terima proyek-proyek lain.”
“Ah bukan, Bang, ini bukan minta kerjasama tapi ada sesuatu yang di usut.”
“Apa itu?”
“Abang tahu Perusahaan Farmasi Yeoreum dari Korea kan?”
Mata Haidar langsung membulat sempurna, “Ka-Kamu tahu perusahaan itu?!”
“Iya, saya lagi mengusut perusahaan itu jadi... banyak hal yang mau saya diskusikan dengan Bang Haidar nanti.” “Sekarang sudah malam soalnya jadi saya harus pulang.”
Haidar langsung menatap jam arlojinya, “Ah iya, sudah pukul 10 malam lagi. Yaudah kalau gitu hubungi saya aja kalo perlu sesuatu.”
Mereka saling menjabat tangan, “Iya, Bang, terima kasih banyak.”
“Kamu harus camkan betul kata-kata saya tadi soal Aisyah.”
“Iya, Bang, Inshaa Allah saya akan selalu inget kata-kata Bang Haidar.” “Kalau gitu saya pamit ya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Naresh mempercepat langkahnya menuju ruangan utama dan berpamitan dengan orang-orang disana.
“Syah, saya pamit pulang, sampai ketemu besok di rumah sakit.”
“Iya, Dok, hati-hati.”
Pemuda itu mengulum senyum leganya, satu per satu urusannya mulai tertangani. Haidar bisa ia ajak kerjasama untuk mengusur kasusnya, semoga dengan itu, seluruh tikus yang mengusik hidupnya selama ini terbrantas sempurna sampai ke akar-akarnya.
Rangga... sebentar lagi tamat riwayat lo...