Luka Seorang Ibu
Bismillah, Aisyah... yuk bisa yuk, Bu Winda gak seserem itu kok...
Aisyah masuk ke ruangan 446 itu dengan mantap dan matanya terbelelak begitu mendapati sosok wanita paruh baya itu menangis sendirian sambil mendekap sebuah figura erat-erat.
“Laras... Laras... Pulanglah ke Ibu, nak...”
Hati Aisyah langsung terenyuh melihatnya. Bagaimana bisa Aisyah membiarkan air mata rindu dari seorang Ibu untuk anaknya itu terus mengalir dari pipi pasiennya? Refleks, gadis itu menghampiri Bu Winda dan menepuk pelan bahunya bersimpati. Bu Winda tersontak dengan kehadiran Aisyah.
“A-Ah, kamu sejak kapan disini?” tanya Bu Winda tersontak.
Aisyah hanya mengulum senyum simpul, “Maaf, Ibu kalau terkesan lancang... tapi... hati saya sakit kalau melihat Ibu menangis seperti ini karena merindukan anaknya...”
Bu Winda menunduk, ia memperlihatkan foto dari figura yang ia dekap barusan, disana terlihat foto kebersamaannya dengan seorang gadis yang kelihatannya masih berusia sekitar 20 an.
“Laras... Ibu kangen, nak...”
Tangisan Bu Winda semakin menjadi-jadi, Aisyah pun tak sadar ikut menitikkan air matanya. Ia memeluk bahu Bu Winda pelan dan kembali memberikan tepukan agar wanita paruh baya itu tenang.
“Maafin, Ibu, nak... Jangan marah sama Ibu... Ibu cuman mau yang terbaik untuk kamu, tapi kalau kamu bahagia dengan pilihan kamu... Ibu ikhlas, nak... Jangan buang Ibu, Laras...”
Suasana sendu semakin mencuat di kamar 446 tersebut. Aisyah membiarkan Bu Winda menangis meraung-raung di bahunya, ia pun tak bisa menahan tangisnya karena ikut merasa sakit. Bagaimana ada seorang anak yang sengaja memberikan luka untuk seorang Ibu? Dia membiarkan perpisahan itu lebih awal dan memilih orang yang bahkan baru ia temui? Aisyah bisa merasakan betapa sakitnya luka dari sosok Bu Winda.
“Ibu mau telepon anaknya...?”
“Dia pasti gak mau angkat telepon dari saya, sus...”
“Pake hape saya aja, siapa tau di angkat.”
Aisyah mengambil ponsel dari sakunya dan meminta Bu Winda untuk memijit nomornya di layar ponsel Aisyah.
“Biar saya dulu yang bicara, nanti baru Ibu bicara ya.”
Bu Winda mengangguk menuruti pinta Aisyah.
“Halo?”
Aisyah mendelik, “Halo, apa benar ini dengan Bu Laras?”
“Iya betul, ada apa ya? Ini siapa?”
Aisyah menarik nafasnya dalam-dalam, “Kami dari Rumah Sakit Kasih Keluarga hendak menginfokan terkait kondisi Ibu Winda—”
“Maaf, Mba, kalau gitu lain kalo aja.”
“A-Ah, tunggu dulu, Bu Laras!”
Bu Winda langsung menyambar ponsel Aisyah, “Laras! Laras! Ini Ibu nak...! Maafin Ibu ya, Laras! Laras!!”
TUT!
Telepon Aisyah di matikan sepihak, membuat Bu Winda kembali menderu desahnya kasar.
“Saya udah bilang kan, dia gak mau bicara lagi sama saya...” “Sebentar lagi dia akan menikah dengan pria pilihannya, sedangkan saya masih di rawat di sini... bayangkan bagaimana tidak hancur hati saya ketika seorang Ibu tidak bisa mendampingi anaknya menikah.” “Sebagai tamu pun saya gapapa, yang penting saya bisa melihat anak saya menikah...”
Aisyah terdiam kelu saking ia sakit hatinya mendengar ungkapan itu keluar dari bibir seorang Ibu, Hatinya sudah di hancurkan berkeping-keping tapi tetap yang namanya seorang Ibu... kalau soal rindu kepada anak tak kenal lagi yang namanya luka... Ya Allah, bahkan aku sendiri ingin sekali menikah di dampingi oleh kedua orang tuaku langsung tapi apa daya kalau takdir berkata lain... kenapa Mbak Laras ini begitu jahat dengan Ibunya sendiri...?
“Ah, kamu jangan pikir macem-macem soal anak saya ya. Memang ini semua berawal dari kesalahan saya, saya sudah gagal menjadi orang tua Laras. Dengan pecahnya rumah tangga saya dengan mantan suami, itu sudah menghancurkan istana berlindungnya Laras, dan parahnya saya tidak pernah memerhatikan kebahagiaan Laras sebelumnya.” “Anak itu melalui banyak hal karena perceraian orang tuanya. Keegoisan orang tuanya sudah menghancurkan banyak mimpi indahnya, jadi saya ikhlas menerima semuanya. Ini adalah hukuman bagi saya dari Allah.”
Aisyah cepat menggeleng, “Enggak, Bu... meskipun orang tua pernah berlaku salah kepada anaknya bukan berarti anak tersebut punya hak untuk menyakiti kembali orang tuanya. Di bandingkan dengan jasa Ibu yang sudah mengandung 9 bulan dan melahirkannya dengan taruhan nyawa, Mbak Laras... tidak sepatutnya berlaku seperti tadi... apalagi Ibu sudah meminta maaf dengan Mbak Laras berkali-kali...” “Kehilangan seorang Ibu pun... adalah patah hati terhebat seorang anak, Bu... saya yakin hati nurani Mbak Laras juga menangis karena memperlakukan Ibunya seperti ini. Dia hanya terlalu kalut dengan nafsu amarahnya... “
Bu Winda kembali menangis tersedu-sedu di bahu mungil milik Aisyah.
“Laras... huhuhu...”
“Hah? Kamu minta izin biar Bu Winda hadirin pernikahan anaknya?”
Aisyah mengangguk mantap, ia memutuskan untuk meminta izin kepada Dokter Arif agar mengizinkan Bu Winda keluar sebentar untuk menghadiri acara pernikahan anaknya.
“Tanggal berapa?”
“Kata Bu Winda minggu depan.”
“Ya tanggal berapa?”
“8 Oktober.”
Dokter Arif menghela nafas panjang, “Duh, gimana ya... sebenarnya Bu Winda gak boleh keluar rumah sakit kayak gitu, Syah, cuman... kalau itu memang demi kebaikan psikisnya...” “Kenapa harus tanggal 8 Oktober sih? Saya harus ngisi seminar itu! Ah, kan kalo kosong, kita bisa kondangan berdua...”
Aisyah tertawa renyah.
“Kalo bisa kamu jangan sendiri, Syah, harus ada dokter yang dampingin kamu.” “Dia juga pasiennya Dokter Alma sih sebelumnya, ah tapi dia ikut saya seminar.”
Tiba-tiba terlintas satu ide di kepala Aisyah.
“Kalo... saya ajak Dokter Naresh gimana?”
Dokter Arif terkejut, lalu ia tertawa terbahak-bahak seolah hal itu sangat mustahil terjadi, “Duh, kamu kayak gak tahu aja si Naresh tuh orang paling sibuk sedunia! Hahahaha...! Gak bakal mau dia, Syah!”
Sedangkan Dokter Naresh sendiri...
“Boleh aja.”
Dokter Arif menganga selebar-lebarnya.
“Beneran, Dok?!” sahut Aisyah sumringah.
“Iya, 8 Oktober saya lowong kok.”
Dokter Arif langsung menyergah, “Heh, Res, lu kesambet apaan kok mau di ajak pergi keluar?! Lu kan orang paling sibuk di dunia!”
“Ya emang kenapa? 8 Oktober gue lowong kok.”
“Bahkan hari libur lo tetep kerja?!”
“Yaudah, terus?”
“8 Oktober itu hari biasa lho, Res, bukannya pasien selalu nomor satu?”
“8 Oktober gue lowong, kenapa?”
Dokter Arif geleng-geleng tak percaya, “Res lo kesambet apa sih? Kok bisa-bisanya... lo berubah gini?”
“Berubah apaan sih?!”
“RES GUE KENAL LO DARI JAMAN KULIAH YA?!”
“Ya terus?!”
Dokter Arif cuman memicing matanya sinis ke Naresh, “Gila, temen gue udah berubah... lo bukan Naresh lagi... fix banget sih...”
Naresh gak menggubris celotehan ngaco rekannya itu dan masuk ke ruangannya tanpa permisi. Aisyah juga hanya bisa diam mematung di tengah keduanya, “Ini dua orang kenapa sih?!” gumam Aisyah sendiri.
Di belakang Aisyah tanpa di sadari ketiganya, ada sosok pria bertopi hitam lagi yang sejak lama memerhatikan Aisyah dari jauh sambil mengepal tangannya keras...
“Aisyah malaikatku... kamu milikku...”