Release
Dalam sujudnya, satu bulir air mata Naresh jatuh membasahi sajadahnya. Hatinya mengaduh bahwa ia memiliki ketakutan yang besar untuk operasi hari ini.
”... Assalamualaikum... Warrahmatullahi... Wabarakatuh...”
Naresh mengusap wajahnya, dan di detik ia memejam matanya untuk berdoa.
”... Aisyah disini.”
Pemuda itu memencak matanya, bayang-bayang senyuman lebar Aisyah yang seolah memberinya kekuatan, suara lembutnya yang jika ia ingat kembali itu dapat menenangkan hatinya.
Banyak sekali senyuman orang-orang sekitarnya yang selalu mengatakan bahwa Naresh adalah dokter hebat. Kalimat itu seolah muncul lagi di kepalanya, dan menguatkan hatinya untuk menghadapi ketakutannya.
Bismillah, Naresh, lo punya Tuhan yang selalu ada di samping lo, apapun itu asalkan Allah bersama kita, semuanya bisa kita hadapi.
Naresh berdiri dan menarik sajadahnya itu pergi.
Ia keluar dengan langkah gagah dan wajah lurusnya.
“Aisyah, kamu disini ya dampingi aja Bang Haidar dan si kembar, mereka sangat khawatir dengan Anela jadi tolong tenangin mereka.”
“Baik, Dokter.”
Detik-detik menuju operasi, Naresh dengan pakaian serba hijaunya ia membersihkan tangannya terlebih dahulu dan mempersiapkan dirinya untuk melakukan operasi.
“Dok, pasien sudah siap di bawa ke ruang operasi.”
Naresh mengangguk mantap. Ia menghampiri Anela yang kini masih terbaring menatap langit-langit ruangannya.
“Nel, siap ya?”
“Siap, Dokter Naresh.”
Naresh terkekeh, “Siap banget suaranya, bagus, bagus pertahankan ya optimisnya.”
Anela ikut tertawa pelan, “Iya dong, karena di bayangan gue sekarang itu bagaimana nanti gue sembuh... terus masakin makanan lagi yang banyak untuk keluarga gue... gue harus optimis sembuh, Res.” “Ah, kalo gue udah sembuh nanti, mau ya gue undang buat makan malem sama-sama? Gue pastiin deh menunya spesial khusus Dokter Naresh.”
Naresh terhenyak dengan sifat optimis yang dimiliki pasien sekaligus kawan lamanya itu, rasanya tidak adil kalau optimisnya Anela ini harus runtuh karena ketakutan sang dokter yang akan menanganinya. Harapan itu harus Naresh jadikan sebagai dorongan untuk dirinya melawan rasa takut yang berkecamuk di dadanya.
“Bener ya, Nel, lo harus sembuh... karena gue bakal tagih janji lo nanti,” ujar pemuda itu lirih.
Anela tertawa cengir, “Siap.”
Tak lama kemudian, Naresh bersama rekan medis lainnya membawa tubuh Anela ke dalam ruang operasi untuk melangsungkan operasinya. Dalam hati, pria itu berdoa untuk kelancarannya hari ini.
Ia yakin, Allah akan senantiasa selalu melancarkan segala urusannya.
Aisyah bersama Haidar dan kedua buah hatinya, gadis itu duduk termenung mengkhawatirkan kondisi kakak iparnya yang sedang di tindak operasi. Haidar di sampingnya juga tak bisa berhenti menghela nafas kasarnya, bibirnya terus mengucap kalimat istigfar dan kakinya bergetar hebat.
“Bang...” lirih Aisyah sambil menepuk bahu Abangnya.
“Syah, Maryam baik-baik aja kan di dalam sana? Maryam pasti sembuh kan?” Haidar menggenggam erat kedua tangan adiknya itu, Aisyah hanya bisa mengatup bibirnya, ia tak bisa jawab pasti pertanyaan kakaknya itu.
Sudah berapa jam mereka disini, dan Dokter Naresh masih belum keluar juga dari ruangannya.
Ibra dan Mina, mereka memeluk mainannya masing-masing untuk menghilangkan keresahan hatinya. Anak seusianya sudah paham kalau saat ini sang Ibunda sedang berjuang melawan penyakit ganasnya.
“Mina...”
“Kenapa, Bra?”
“Umi sembuh kan...”
Mina mengangguk, “Umi pasti sembuh kok...”
“Kalo Umi sembuh, Ibra janji makan sayur buatan Umi lagi, gak nakal jajan ramen terus...”
“Iya, Ibra... Mina juga janji nanti Mina gak nakal lagi sama Umi... Nurut sama Umi...”
Mereka saling mengaitkan jari kelingkingnya, berjanji bahwa mereka akan lebih memperlakukan Ibundanya dengan baik ke depannya.
DREK!
Naresh dari ujung pintu sana membuka maskernya dan menyeka keningnya yang berkeringat. Haidar langsung mempercepat langkahnya menghampiri Naresh dan rekan medis di belakangnya itu.
“Re-Res, Maryam... gimana?”
Naresh menghela nafas panjang.
“Alhamdulillah, operasi lancar, semuanya lancar, sekarang Anela masih di bawah pengaruh biusnya jadi mungkin sejam dua jam lagi dia baru bisa bangun. Kalo udah stabil kondisinya, nanti baru bisa di bawa ke ruangan biasa.” “Jujur aja, ini mukjizat besar dari Allah, sebelumnya saya belum pernah melakukan operasi sampai selancar ini... saya harap ini memperbesar harapan Anela untuk sembuh bahkan kalau bisa sembuh total. Semoga Allah mengizinkan.”
Haidar mengucap syukur sampai air matanya mengalir deras. Aisyah juga ikut menangis haru, ia memeluk si kembar erat-erat dan keduanya juga ikut ramai mengucapkan kalimat hamdalah.
Naresh ikut tersenyum lebar melihat keluarga di hadapannya ini mendapat harapan baru untuk Anela. Netranya tertuju ke arah Aisyah, “Aisyah bisa ikut saya sebentar?”
Aisyah mendelik dan ia mengikuti aba-aba Naresh untuk pergi mengikutinya.
“Kenapa, Dok?”
Naresh masih tak melepas senyum lebarnya, tangan besarnya itu meraih pucuk kepala Aisyah yang di balut hijab hijau pastelnya.
“Terima kasih sudah membantu saya banyak hal.”
Wajah Aisyah langsung memerah tomat, matanya berbinar-binar begitu ia merasakan tangan besar Naresh terus menepuk pelan kepalanya. Gadis itu tak mampu membalas tatapan lembut pria di hadapannya.
“Ah enggak... saya gak banyak bantu apa-apa kok sama Dokter...”
“Kamu banyak bantu saya, Aisyah... saya bersyukur kamu bisa hadir di kehidupan saya sekarang.”
Jantung Aisyah lagi-lagi berdegup kencang tak karuan.
Begitu Naresh membalik badan dan pergi meninggalkannya. Aisyah sudah hampir tak bisa bernafas karena tempo detakkan jantungnya yang terus merujam dadanya.
Ya Allah... kenapa sih Kak Naresh hobi banget bikin Aisyah deg-degan gini sih?!