Suara Hati

“HAH?! KAMU DITEMBAK SAMA TEMENNYA NARESH??!!”

Aisyah mengangguk lesu, dengan kedua tangan dan kakinya yang sedang di mani-pedi, gadis itu tak berhenti mengeluh kesah soal hatinya.

“Kaget banget tau gak sih, kak... ya emang sih kalo Dokter Arif tuh sering banget kayak deket-deket sama Aisyah gitu tapi Aisyah gak expect dia bakal suka sama Aisyah!! Kenapa sih cowok-cowok kayak gitu tuh bikin hati Aisyah gelisah gini?! Dokter Naresh juga sering banget baperin Aisyah!” celoteh Aisyah.

Anela yang sibuk membaca isi chat Aisyah dengan Dokter Arif itu hanya geleng-geleng kepala, “Wah sengit banget nih jadinya, antara Naresh sama Dokter Arif... kira-kira mereka bisa gak ya taklukin hatinya Mas Haidar...”

“Ih, Kak Anela mah! Sebelum ngelewatin Bang Haidar kan harus Aisyah dulu yang pastiin perasaan Aisyah!”

“Kalo gitu, perasaan kamu gimana?”

“Apanya?”

“Hati kamu, lebih memilih Dokter Naresh atau Dokter Arif?”

Aisyah langsung termenung lama. Gadis itu tak bisa menjawab cepat pertanyaan kakak iparnya, ia sendiri tak tahu hatinya ingin berlabuh kepada siapa tapi... Aisyah jadi ingat perkataan almarhum Abinya dulu ketika Aisyah masih SMA, lebih tepatnya di pertemuan terakhirnya sebelum akhirnya mereka terpisah selama-lamanya.

“Aisyah... suatu saat nanti kamu akan menikah, boleh Abi titip satu pesan sama kamu?”

“Apa, Bi?”

“Jika seandainya, Abi gak bisa mendampingi kamu sampai menikah nanti... Abi titip pesan untuk kamu perihal dalam memilih laki-laki yang akan mendampingi kamu kelak...” “Aisyah, cinta itu bisa membuat kita buta dengan kenyataan, cinta itu... terkadang bisa menjebak kita dalam suatu hubungan yang salah... maka itu, terus minta perlindungan sama Allah agar diberikan pendamping yang terbaik dari sisi-Nya. Apapun pilihan Allah, itu semuanya baik, Aisyah...” “Tapi Rasulullah sendiri sudah memberikan kita beberapa cara jika ingin mendapat pasangan yang baik untuk mendampingi kita.”

“Gimana tuh, Bi?”

“Yang pertama, perbaiki diri sebaik mungkin agar Allah memantaskan jodohmu kelak yang terbaik pula, lalu kedua, niatkan hatimu itu untuk menikah karena ibadah kepada Allah, dan yang ketiga... bila ada laki-laki baik yang datang melamarmu... terimalah dia, Aisyah.” “Sebaik-baiknya laki-laki perihal mencintai, ialah laki-laki yang berani melamar wanita kasihnya langsung di hadapan keluarganya. Inshaa Allah, itu adalah jodoh yang Allah kirim sebaik-baiknya untuk kamu, nak...”

Aisyah hanya mengangguk menuruti wejangan terakhir sang Ayahanda...

dan sekarang Aisyah sedang berada di situasi yang almarhum Abi-nya sebutkan dulu.

“Kak Anela... dulu Abi pernah bilang, kalau ada laki-laki baik yang datang melamar Aisyah langsung... itu adalah jodoh yang Allah kirimkan untuk Aisyah, apa sebaiknya Aisyah terima aja pernyataan cinta Dokter Arif?” ucap Aisyah bimbang.

Anela bergeming, “Hmm... gimana ya, kalo kata aku, Dokter Arif belum melamar kamu, Syah, dia baru nyatain perasaan ke kamu untuk memastikan lagi perasaan kamu sama dia...” “Dan kalau kamu masih ragu dengan Dokter Arif, kamu masih bisa tolak dia.”

“Serius? Dokter Arif juga orang baik sebenarnya...”

Anela menghela nafas panjang, “Aisyah sayang... begini ya, menikah itu bukan soal kamu menikahi orang baik lalu pernikahan kamu berjalan mulus. Tidak, yang namanya manusia pasti ada kekurangan. Kamu akan hidup bersama pasangan kamu itu selamanya, dan tentunya kamu perlu yang namanya mengikuti suara hati nurani kamu... kira-kira kamu ingin hidup dengan siapa?” “Ya kecuali kalau orang itu susah di gapai dan jelas banget dia bukan orang baik ya, baru kamu harus mempertimbangkan orang baik di sekitar kamu.” “Coba pikir-pikir lagi deh, dan resapin lagi hati terkecil kamu yang sejujur-jujurnya... Kamu yakin ingin menerima Dokter Arif?” “Lalu bagaimana dengan Dokter Naresh?”

Aisyah tersentak begitu dengar nama Naresh.

“Aku... bukannya berpihak sama Naresh, tapi kemarin waktu makan malam kita, aku bisa melihat jelas mata Naresh ketika menatap kamu, Syah. Dia juga suka sama kamu, bahkan sangaaatt suka sama kamu. Dia ingin sekali bisa hidup bersama kamu, tapi ada sesuatu yang janggal di hatinya.” “Aku gak tahu itu, tapi mungkin Mas Haidar tahu, karena Mas Haidar cerita sama aku kalau dia harus segera mempersiapkan diri untuk melepas kamu sama Naresh nanti.”

Mata Aisyah memencak lebar, “Ma-Maksudnya?!”

Anela tersenyum simpul, “Naresh... udah ngakuin perasaannya sama Mas Haidar. Dia suka sama kamu, Syah.”

Perasaan Aisyah langsung campur aduk karena ungkapan kakak iparnya itu perihal pemuda pemilik nama Naresh, Kak Naresh... udah ngomong sama Abang? Berarti... dia udah melamar Aisyah lewat Abang bukan sih? Kok dia diem-diem aja ya?

“Eh tapi kamu jangan bilang-bilang dulu ya ke Naresh ataupun Mas Haidar, mungkin Naresh masih banyak pertimbangan sebelum benar-benar melamar kamu, ya kamu harus sabar aja dulu.” “Aku ngasih tau gini tuh sebagai bahan pertimbangan kamu untuk jawaban confession-nya Dokter Arif, kalau kamu memang lebih yakin sama Dokter Arif ya gapapa. Itu kan pilihan hati kamu.” “Menikah itu sekali seumur hidup, Syah, jangan sampai kamu salah memilih pendamping.”

Percakapan mereka tertunda begitu Anela berdiri untuk menjalani treatment rambut selanjutnya. Aisyah masih di landa galau yang justru semakin membuatnya pusing tujuh keliling.

Aisyah masih perlu waktu untuk merenungi lagi perihal masalah hatinya.

Siapa sangka akan ada dua laki-laki yang datang secara bersamaan untuk mengacak-acak hati gadis tersebut?