Between
Mina menghentakkan beberapa bukunya, menata rapih lembaran kertas yang terselip di bukunya.
“Bu Mina!”
Sahutan gadis cilik berambut pendek bob itu mengejutkan Mina, “Iya, Caroline?”
“Kenapa Bu Mina cuman tinggal 3 bulan disini?”
Mina tersenyum henyak lalu mendekati wajah gadis mungil itu, “Nanti ibu lupa rasa rendang kalau kelamaan disini.”
Caroline menggedikan kepalanya, “Rendang? Apa itu rendang?”
“Rendang itu makanan yang paling harus kamu coba kalau di Indonesia, dan masih ada lagi makanan-makanan Indonesia yang lezat seperti nasi gudeg, pecel terus ayam penyet...” Mina mengait anak rambut hazel milik Caroline lembut, tak lupa memberi jejak colekan kecil di pipi gembul merah jambunya. Muridnya satu ini sangat mengagumi sosok gurunya ini, semua cerita dan bagaimana Mina mengajar merupakan hal favorit yang selalu ia nantikan di sekolah. Kedua orang tua Caroline yang merupakan orang Indonesia asli tentu mengerti kenapa Caroline sangat menyukai gurunya satu itu.
“Kita bisa minta Bu Mina bawakan rendang buatannya untuk kelas selanjutnya.”
Suara bariton dari ambang pintu kelas membuat Mina mendelik, apalagi dengan kalimatnya barusan. Senyuman jumawa Aaron yang di iringi tawa kecilnya, tangan besarnya langsung menepuk bahu Mina.
“Anak-anak juga harus tahu bagaimana rasanya makanan Indonesia,” lanjut pria itu.
Caroline yang mendengarnya langsung loncat kegirangan, ia tak sabar menantikan hari itu akan datang.
Sedangkan Mina...
“Waduh... Mina kan gak bisa masak...”
“Kak Aaron ih! Aku gak bisa masak seriusan, kemarin juga di ajarin masak udah lupa lagi resepnya! Kok tiba-tiba banget nyuruh bawa makanan Indonesia?!” Mina tak henti protes besar ke atasannya itu, Aaron tertawa terbahak-bahak dengan respon Mina yang menggemaskan.
“Aku asal ngomong doang lho, Mina.”
“Tapi Caroline udah exciting gitu! Kan gak enak kalo akunya gak bawain untuk mereka...”
Aaron lagi-lagi menanggapi ocehan Mina dengan kekehan geli. PUK Tangan besarnya menggapai pucuk kepala gadisnya, “Kalo gitu gak ada salahnya kan kamu belajar sambil minta penilaian anak-anak?” “Ah tapi beda ya kalau penilaian aku, takutnya gak objektif hahaha...”
Mina mengernyit dahi, “Kok gitu?!”
“Aku kan penggemar kamu, pasti masakan kamu semuanya kubilang enak.”
PUUSH! Wajah Mina sukses dibuat merah tomat oleh lontaran gombal picisan Aaron. Ia tak mengerti kenapa harus salah tingkah tapi yang jelas, jantungnya kini berdegup tak karuan.
Curang.
“Mina, kamu ada rencana kah malam minggu ini?”
Cepat gadis itu mengangguk, “Iya, aku ada makan malam.”
“Makan malam sama siapa?”
Mina mengatup bibirnya, “Sama... keluarganya Bang Husein.”
Senyuman Aaron memudar, nama yang terucap dari bibir manis Mina membuat secercah harapannya meredup.
Pria itu harus apa?
“Mina,” Aaron melangkah cepat lagi, berdiri di hadapan gadis itu dan menatap kedua netra cantiknya mantap, “Maaf tapi aku mau tanya soal ini sama kamu.”
Dengan lugu, gadis itu melontarkan senyuman manisnya, “Apa, Kak?”
“Kamu... dengan Husein, gak pacaran?”
Pertanyaan itu membuat yang di tanya mengernyit dahinya, “Ha-hah?”
“Kamu kok kayak deket banget sama Husein.”
Mina menggeleng cepat, “Enggak kok! Aku gak pacaran, bukannya aku udah bilang kita ini teman masa kecil? jadi aku sama Bang Husein gak ada hubungan spesial apa-apa!”
Jawaban itu sudah mutlak, Mina tlah memantapkan hatinya untuk menyudahi semua rasa yang usang meskipun meninggalkan luka dan kenangan. Kalimat itu keluar beriring dengan rasa sakit di dadanya, tapi ini sudah keputusan Mina.
Aaron kembali menampilkan senyuman tampannya, “Ah gitu?” suaranya menggambarkan lelaki itu lega.
“Kenapa... Kak Aaron tiba-tiba nanya gitu sama aku?” tanya Mina heran.
Aaron menunduk sejenak, “Aku hanya memastikan saja, bahwa kesempatanku masih terbuka lebar.”
Laki-laki itu jalan mendahului Mina, dan meninggalkan kalimat ambigunya sebagai tanda tanya besar di benak Mina.
Malam ini, sudah di pastikan gadis itu tidak akan bisa tidur.