shinelyght

Mina datang dengan raut pasinya ke depan rumah yang sangat ingin ia palingkan dari tujuannya. Tangannya mau tak mau memencet bel rumah, ia menarik nafasnya dan berusaha untuk tidak merusak suasana dengan senyuman palsu yang terlukis di wajah cantiknya.

Tapi seketika memudar setelah kedatangannya di sambut oleh laki-laki bersweater putih turtle neck yang tak lain, Husein.

“Lho, gak bareng sama yang lain?” tanya Husein kaget.

Mina menerobos masuk dan mencium tangan Angel, “Lho abi umi mana, sayang?” tentu Angel bertanya, cowok di ambang pintu itu cuman bisa mengelus dada. Yang namanya di kacangin itu sakit brou.

“Mina datang langsung dari apartemen, di kira udah pada dateng, hehe ....”

“Oh gitu, yaudah kalau gitu kamu duduk dulu sini, Tante bikin susu coklat hangat nih soalnya cuaca udah makin dingin.”

Angel menyuguhkan dua cangkir coklat hangat di atas mejanya, “Husein, ini di minum coklatnya.”

Mina langsung memalingkan wajahnya, Husein menderu nafasnya panjang dan meminum cepat minumannya. Pemuda itu sengaja mengambil tempat duduk di samping Mina meskipun tak saling memandang, gadis berhijab itu juga tak menganggap kehadiran Husein. Pemuda itu menatap nanar lekuk tangan mungil Mina yang mengepal di atas meja. Memorinya langsung berputar ketika Mina menggandeng lengan kokohnya di kapal beberapa hari yang lalu.

“Mina, habis ini... bisa kita bicara?” cuman itu yang bisa keluar dari bibir Husein.

Mina tak menjawab sekali lagi.

“Mina, jangan cuekin aku kayak gini—”

“Assalamualaikum!!”

Sahutan tenor khas Haidar mengejutkan keduanya, dan begitupun sang pria paruh baya yang ada di ambang pintu— karena mendapati Husein dan Mina tengah duduk bersanding.

Husein seolah tahu arti dari tatapan tajam Haidar, dia langsung berdiri dari tempatnya dan menjauh dari meja makan. Angel langsung menyambut kehadiran Haidar sekeluarga, mempersilahkan mereka duduk terlebih dahulu di meja makan. Ibra juga ikut curiga dengan tingkah Husein, Et dah nih orang habis ngapain lagi sama kakak gue?

“Adit mana?” tanya Haidar.

“Lagi keluar sebentar, paling bentar lagi datang kok. Ini di minum aja coklat hangatnya.” “Gak nyangka ya ternyata kalian lusa udah pulang aja, padahal masih banyak tempat yang belum kita kunjungi sama-sama ....”

Anela menyergah, “Ah enggak kok, seminggu disini ternyata cukup juga. Nanti kapan-kapan lagi mau main kesini, siapa tahu kan selama Mina disini dia butuh kita jadi mau gak mau harus kesini, hahaha ....”

Angel langsung berjalan mendekati Mina dan merangkul bahu mungilnya, “Mina kalo ada apa-apa disini hubungin aja Tante Angel, kalau bisa sih selama disini panggilnya jangan Tante Angel.” “Panggilnya Anya.”

Mina mendelik, “Anya artinya apa?”

Husein menimpal, “Bunda artinya.”

Angel tersenyum lebar, matanya teralihkan ke arah Haidar yang tak bisa melepas pandangannya dari Husein. Memang ayah si kembar ini betul-betul mengantisipasi sosok Husein yang perlahan mulai memasuki kehidupan Mina lagi setelah 12 tahun.

“Husein,” panggil Haidar dengan lugas.

“I-Iya, om...?” jawab Husein gemetar.

“Ikut saya keluar sebentar, saya mau beli sesuatu.”

“Oh iya, Om.”

Husein mengikuti langkah Haidar dari belakang dengan gemuruh detak jantung yang tak menentu. Bagaimana tidak? Ini merupakan detik-detik dia akan di sidak oleh ayah Mina (mungkin karena tadi keciduk sedang duduk berdua). Asal bukan dijadikan ulenan dodol atau di geprek dadakan, Husein siap menghadapi sidak ini dengan kepala dingin.

Tentunya dengan bismillah.

Ibra menyenggol lengan kakaknya, “Husein siap-siap di sidak tuh sama Abi.”

Mina jadi ikut waswas.


“Om, ayah saya lagi beli minuman juga di luar—”

“Gapapa, saya tahu minuman kesukaan ayah kamu.” “Kamu mau kopi juga?”

Husein membukam mulutnya.

“Ya sudah kalau gitu beli tiga aja. Excuse me, 3 americano please.

Di balas OK oleh sang penjual, Haidar mengajak Husein untuk duduk di hadapannya dan mereka sama-sama memandang langit yang mulai mengguyurkan hujan salju dengan deras.

“Salju memang indah, sayangnya bikin masuk angin,” ucapan simpel Haidar di balas ketawa kecil Husein.

Waktu kecil dulu, Husein juga pernah di bimbing oleh Haidar secara langsung bersama dengan kedua anaknya. Husein kecil sangat mengagumi sosok Haidar yang tegas dan juga berwawasan luas, dulu Haidar pernah berpesan dengan Husein.

“Laki-laki itu langkahnya harus panjang, kamu harus bisa pergi kemanapun untuk mencari ilmu dan pengalaman.” “Tuntutlah ilmu sebanyak dan setinggi mungkin, Husein...”

Husein kecil balik bertanya, “Kenapa sih kita harus tuntut ilmu terus, Om? Sedangkan kita kalo beli permen kan harus pakai duit.”

Haidar tertawa, “Husein, dengar ya nak. Saya yakin kamu akan tumbuh sebagai seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang, dan itu semua bisa kamu wujudkan ketika kamu menuntut ilmu sebanyak dan setinggi mungkin.” “Karena ketika kamu miskin pun, ilmu itu yang akan menjadi hartamu dan ketika kamu kaya, ilmu itu akan menjadi perhiasanmu, Husein.”

Kutipan itu di ambil dari seorang tokoh islam yang dikenal dengan nasihat-nasihatnya kepada anak-anaknya, yakni Luqman al-Hakim. Namanya disebutkan di Al-Qur'an pada surat Luqman (31) ayat 12-19.

Mata Husein berbinar-binar melihat bagaimana bersinarnya wajah Haidar ketika ia tersenyum hangat, mengelus kepalanya lembut dan menyampaikan nasihat yang selalu ia catat bahkan hingga kini.

Maka itu ia tak pernah kehilangan respectnya dengan sosok Haidar El Fatih.

“Kamu suka sama Mina?” pertanyaan menohok Haidar mengejutkan Husein.

“A-Ah, itu ....”

“Sepulang dari sini, saya ada rencana mau taarufkan Mina dengan seseorang.”

DHEG!! Seperti petir yang menyambar dadanya. Husein mulai merasakan nyeri yang luar biasa.

“Usianya sudah bukan lagi main-main soal hubungan. Saya tak mau anak gadis saya ini ada di ambang jurang mendekati zina.” “Sebenarnya saya berat melepas Mina sendirian di negeri orang, tapi ini adalah impiannya. Mina sangat ingin bisa merasakan kehidupan luar negeri, saya gak bisa apa-apa.” “Belum lagi kamu disini, saya bukannya suudzon tapi nyatanya kamu sering kan curi-curi kesempatan untuk dekat sama anak saya?”

Skakmat sudah. Husein tertangkap basah melalui insting tajam seorang ayah milik Haidar.

“Saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, kamu suka sama Mina?”

“Saya sangat mencintai Mina, Om.”

Mata Haidar terbelelak.

“Sampai detik ini, tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi Mina dalam hati saya. Mina adalah cinta pertama saya.”

“Kalau gitu, kamu siap segera menikahi anak saya dan menjaga Mina seumur hidup kamu?”

Husein menunduk, “Tapi om ....”

“Kenapa harus pakai kata 'tapi'?”

“Saya malu.”

Haidar mendecih, “Malu?”

“Saya malu dengan masa lalu saya.”

Sekali lagi, pria paruh baya berparas eksotis itu memencak kedua matanya.

“Saya ini... lahir dari seorang ayah penjahat, pembunuh, penipu... di sandingkan dengan sosok Mina yang seperti malaikat dari keluarga yang malaikat pula.” “Dan yang semakin membuat saya malu adalah, sebuah fakta bahwa ayah kandung saya adalah orang yang menyebabkan Om Haidar di fitnah bahkan di masukkan ke penjara ....” tak sadar Husein meneteskan satu air matanya.

Haidar terkesiap, “Kamu... tahu darimana soal itu?”

“Lambat laun semua akan mengetahui fakta itu, Om, Ibra sendiri sudah tahu dan Mina mungkin... akan segera mengetahuinya cepat atau lambat ....” “Saya tahu bagaimana menderitanya kalian pada saat itu karena ulah ayah kandung saya, makanya saya... merasa tak pantas untuk bersanding dengan Mina.”

Haidar menghela nafas panjangnya.

“Kamu merasa malu karena tingkah ayahmu?”

“Iya, om....”

“Teruslah merasa malu bahkan sampai jijik, Husein.”

Husein tersontak.

“Karena dengan itu, kamu tidak akan pernah mencontoh perbuatan buruk ayahmu. Bagaimanapun dulu itu kita semua korban, bundamu juga korban. Saya masih ingat betul bagaimana bundamu itu menderita karena perbuatan almarhum ayahmu.” “Tapi itu semua sudah berlalu, dan masa lalu itu gak ada sangkut pautnya sama kamu.”

Begitu kopi pesanan sudah datang di depan mata, Haidar memutuskan untuk duduk lebih lama lagi untuk berbincang.

“Saya tahu gimana perasaan kamu ketika mengetahui fakta pahit itu, tapi saya sebagai korban ayahmu secara langsung... sudah memaafkan dan mengikhlaskan semua perbuatannya dengan saya.” “Sampai di detik ayahmu menghembuskan nafas terakhirnya, saya dengan Adit sempat menjenguknya di Korea.”

Husein mendongak kaget.

“Kami memutuskan untuk mengubur masa-masa itu karena itu hanya memicu trauma berkepanjangan yang mengotori hati dengan perasaan dendam. Angel juga sudah mulai mengikhlaskan semua kesalahan ayahmu, karena ayahmu juga sebenarnya kesulitan, Husein.” “Jovian itu anak yang tumbuh di lingkungan yang salah. Padahal dia itu sangat cerdas, belum lagi dia juga punya masa lalu yang buruk, perasaan dendam dengan keluarga besarnya yang membuang dia menjadi anak sebatang kara. Banyak faktor yang akhirnya membuat ayahmu menjadi seorang penjahat. Ketika ia harus menembus kejahatannya pun, ia lebih memilih menyakiti dirinya sampai meninggal.” “Kamu bisa bayangkan betapa beratnya tekanan ayahmu?”

Dada Husein semakin sesak.

“Itulah kenapa saya tidak lagi marah ataupun menuntut apa yang sudah dia perbuat sama saya, karena dia sendiri juga gak kalah menderita. Meskipun saya tak menerima kalimat maafnya secara langsung tapi sudah cukup saya maafkan.” “Sekarang giliran kamu, Husein, maafkan semua masa lalu ayahmu, karena bagaimanapun juga dia adalah ayah kandung kamu. Kamu gak bisa menolak nasab, dan haram hukumnya kalau kamu tidak mengakui nasab.” “Kamu lahir dan tumbuh di lingkungan baik bahkan kamu sendiri merasa jijik dengan perbuatan jahat ayahmu, berarti itu sudah cukup menjadi jaminan bahwa kamu tidak sama dengan Jovian.”

Haidar membuka ponselnya, “Nomor kamu masih sama?”

“Ya-yang nomor Indonesia masih aktif kok.”

DRRT!! Haidar mengirimkan suatu file ke Husein, “Buka selagi kamu siap. Itu surat terakhir yang di tulis Jovian sebelum meninggal.” “Soal Mina, kamu harus pertimbangkan lagi karena itu tidak menyangkut masa lalu kamu, tapi masa depan kamu dengan anak saya.” “Saya tunggu kamu di Indonesia.”

Pria itu tersenyum jumawa sambil menyodorkan tangannya, Husein dengan senang hati membalas jabatan tangannya dengan khas gaya jantan seolah mereka sudah membuat kesepakatan.

Sedikit demi sedikit kekuatan Husein semakin terkumpul.


Akhirnya mereka makan malam bersama saling bercengkrama dengan hangat. Bertukar canda tawa sampai tak terasa jarum jam menunjukkan angka pukul setengah 9.

Detik dimana Keluarga Haidar melangkah keluar dari rumah kediaman Adit.

It really became a farewell dinner.

Mina datang dengan raut pasinya ke depan rumah yang sangat ingin ia palingkan dari tujuannya. Tangannya mau tak mau memencet bel rumah, ia menarik nafasnya dan berusaha untuk tidak merusak suasana dengan senyuman palsu yang terlukis di wajah cantiknya.

Tapi seketika memudar setelah kedatangannya di sambut oleh laki-laki bersweater putih turtle neck yang tak lain, Husein.

“Lho, gak bareng sama yang lain?” tanya Husein kaget.

Mina menerobos masuk dan mencium tangan Angel, “Lho abi umi mana, sayang?” tentu Angel bertanya, cowok di ambang pintu itu cuman bisa mengelus dada. Yang namanya di kacangin itu sakit brou.

“Mina datang langsung dari apartemen, di kira udah pada dateng, hehe ....”

“Oh gitu, yaudah kalau gitu kamu duduk dulu sini, Tante bikin susu coklat hangat nih soalnya cuaca udah makin dingin.”

Angel menyuguhkan dua cangkir coklat hangat di atas mejanya, “Husein, ini di minum coklatnya.”

Mina langsung memalingkan wajahnya, Husein menderu nafasnya panjang dan meminum cepat minumannya. Pemuda itu sengaja mengambil tempat duduk di samping Mina meskipun tak saling memandang, gadis berhijab itu juga tak menganggap kehadiran Husein. Pemuda itu menatap nanar lekuk tangan mungil Mina yang mengepal di atas meja. Memorinya langsung berputar ketika Mina menggandeng lengan kokohnya di kapal beberapa hari yang lalu.

“Mina, habis ini... bisa kita bicara?” cuman itu yang bisa keluar dari bibir Husein.

Mina tak menjawab sekali lagi.

“Mina, jangan cuekin aku kayak gini—”

“Assalamualaikum!!”

Sahutan tenor khas Haidar mengejutkan keduanya, dan begitupun sang pria paruh baya yang ada di ambang pintu— karena mendapati Husein dan Mina tengah duduk bersanding.

Husein seolah tahu arti dari tatapan tajam Haidar, dia langsung berdiri dari tempatnya dan menjauh dari meja makan. Angel langsung menyambut kehadiran Haidar sekeluarga, mempersilahkan mereka duduk terlebih dahulu di meja makan. Ibra juga ikut curiga dengan tingkah Husein, Et dah nih orang habis ngapain lagi sama kakak gue?

“Adit mana?” tanya Haidar.

“Lagi keluar sebentar, paling bentar lagi datang kok. Ini di minum aja coklat hangatnya.” “Gak nyangka ya ternyata kalian lusa udah pulang aja, padahal masih banyak tempat yang belum kita kunjungi sama-sama ....”

Anela menyergah, “Ah enggak kok, seminggu disini ternyata cukup juga. Nanti kapan-kapan lagi mau main kesini, siapa tahu kan selama Mina disini dia butuh kita jadi mau gak mau harus kesini, hahaha ....”

Angel langsung berjalan mendekati Mina dan merangkul bahu mungilnya, “Mina kalo ada apa-apa disini hubungin aja Tante Angel, kalau bisa sih selama disini panggilnya jangan Tante Angel.” “Panggilnya Anya.”

Mina mendelik, “Anya artinya apa?”

Husein menimpal, “Bunda artinya.”

Angel tersenyum lebar, matanya teralihkan ke arah Haidar yang tak bisa melepas pandangannya dari Husein. Memang ayah si kembar ini betul-betul mengantisipasi sosok Husein yang perlahan mulai memasuki kehidupan Mina lagi setelah 12 tahun.

“Husein,” panggil Haidar dengan lugas.

“I-Iya, om...?” jawab Husein gemetar.

“Ikut saya keluar sebentar, saya mau beli sesuatu.”

“Oh iya, Om.”

Husein mengikuti langkah Haidar dari belakang dengan gemuruh detak jantung yang tak menentu. Bagaimana tidak? Ini merupakan detik-detik dia akan di sidak oleh ayah Mina (mungkin karena tadi keciduk sedang duduk berdua). Asal bukan dijadikan ulenan dodol atau di geprek dadakan, Husein siap menghadapi sidak ini dengan kepala dingin.

Tentunya dengan bismillah.

Ibra menyenggol lengan kakaknya, “Husein siap-siap di sidak tuh sama Abi.”

Mina jadi ikut waswas.


“Om, ayah saya lagi beli minuman juga di luar—”

“Gapapa, saya tahu minuman kesukaan ayah kamu.” “Kamu mau kopi juga?”

Husein membukam mulutnya.

“Ya sudah kalau gitu beli tiga aja. Excuse me, 3 coffee please.

Di balas OK oleh sang penjual, Haidar mengajak Husein untuk duduk di hadapannya dan mereka sama-sama memandang langit yang mulai mengguyurkan hujan salju dengan deras.

“Salju memang indah, sayangnya bikin masuk angin,” ucapan simpel Haidar di balas ketawa kecil Husein.

Waktu kecil dulu, Husein juga pernah di bimbing oleh Haidar secara langsung bersama dengan kedua anaknya. Husein kecil sangat mengagumi sosok Haidar yang tegas dan juga berwawasan luas, dulu Haidar pernah berpesan dengan Husein.

“Laki-laki itu langkahnya harus panjang, kamu harus bisa pergi kemanapun untuk mencari ilmu dan pengalaman.” “Tuntutlah ilmu sebanyak dan setinggi mungkin, Husein...”

Husein kecil balik bertanya, “Kenapa sih kita harus tuntut ilmu terus, Om? Sedangkan kita kalo beli permen kan harus pakai duit.”

Haidar tertawa, “Husein, dengar ya nak. Saya yakin kamu akan tumbuh sebagai seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang, dan itu semua bisa kamu wujudkan ketika kamu menuntut ilmu sebanyak dan setinggi mungkin.” “Karena ketika kamu miskin pun, ilmu itu yang akan menjadi hartamu dan ketika kamu kaya, ilmu itu akan menjadi perhiasanmu, Husein.”

Kutipan itu di ambil dari seorang tokoh islam yang dikenal dengan nasihat-nasihatnya kepada anak-anaknya, yakni Luqman al-Hakim. Namanya disebutkan di Al-Qur'an pada surat Luqman (31) ayat 12-19.

Mata Husein berbinar-binar melihat bagaimana bersinarnya wajah Haidar ketika ia tersenyum hangat, mengelus kepalanya lembut dan menyampaikan nasihat yang selalu ia catat bahkan hingga kini.

Maka itu ia tak pernah kehilangan respectnya dengan sosok Haidar El Fatih.

“Kamu suka sama Mina?” pertanyaan menohok Haidar mengejutkan Husein.

“A-Ah, itu ....”

“Sepulang dari sini, saya ada rencana mau taarufkan Mina dengan seseorang.”

DHEG!! Seperti petir yang menyambar dadanya. Husein mulai merasakan nyeri yang luar biasa.

“Usianya sudah bukan lagi main-main soal hubungan. Saya tak mau anak gadis saya ini ada di ambang jurang mendekati zina.” “Sebenarnya saya berat melepas Mina sendirian di negeri orang, tapi ini adalah impiannya. Mina sangat ingin bisa merasakan kehidupan luar negeri, saya gak bisa apa-apa.” “Belum lagi kamu disini, saya bukannya suudzon tapi nyatanya kamu sering kan curi-curi kesempatan untuk dekat sama anak saya?”

Skakmat sudah. Husein tertangkap basah melalui insting tajam seorang ayah milik Haidar.

“Saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, kamu suka sama Mina?”

“Saya sangat mencintai Mina, Om.”

Mata Haidar terbelelak.

“Sampai detik ini, tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi Mina dalam hati saya. Mina adalah cinta pertama saya.”

“Kalau gitu, kamu siap segera menikahi anak saya dan menjaga Mina seumur hidup kamu?”

Husein menunduk, “Tapi om ....”

“Kenapa harus pakai kata 'tapi'?”

“Saya malu.”

Haidar mendecih, “Malu?”

“Saya malu dengan masa lalu saya.”

Sekali lagi, pria paruh baya berparas eksotis itu memencak kedua matanya.

“Saya ini... lahir dari seorang ayah penjahat, pembunuh, penipu... di sandingkan dengan sosok Mina yang seperti malaikat dari keluarga yang malaikat pula.” “Dan yang semakin membuat saya malu adalah, sebuah fakta bahwa ayah kandung saya adalah orang yang menyebabkan Om Haidar di fitnah bahkan di masukkan ke penjara ....” tak sadar Husein meneteskan satu air matanya.

Haidar terkesiap, “Kamu... tahu darimana soal itu?”

“Lambat laun semua akan mengetahui fakta itu, Om, Ibra sendiri sudah tahu dan Mina mungkin... akan segera mengetahuinya cepat atau lambat ....” “Saya tahu bagaimana menderitanya kalian pada saat itu karena ulah ayah kandung saya, makanya saya... merasa tak pantas untuk bersanding dengan Mina.”

Haidar menghela nafas panjangnya.

“Kamu merasa malu karena tingkah ayahmu?”

“Iya, om....”

“Teruslah merasa malu bahkan sampai jijik, Husein.”

Husein tersontak.

“Karena dengan itu, kamu tidak akan pernah mencontoh perbuatan buruk ayahmu. Bagaimanapun dulu itu kita semua korban, bundamu juga korban. Saya masih ingat betul bagaimana bundamu itu menderita karena perbuatan almarhum ayahmu.” “Tapi itu semua sudah berlalu, dan masa lalu itu gak ada sangkut pautnya sama kamu.”

Begitu kopi pesanan sudah datang di depan mata, Haidar memutuskan untuk duduk lebih lama lagi untuk berbincang.

“Saya tahu gimana perasaan kamu ketika mengetahui fakta pahit itu, tapi saya sebagai korban ayahmu secara langsung... sudah memaafkan dan mengikhlaskan semua perbuatannya dengan saya.” “Sampai di detik ayahmu menghembuskan nafas terakhirnya, saya dengan Adit sempat menjenguknya di Korea.”

Husein mendongak kaget.

“Kami memutuskan untuk mengubur masa-masa itu karena itu hanya memicu trauma berkepanjangan yang mengotori hati dengan perasaan dendam. Angel juga sudah mulai mengikhlaskan semua kesalahan ayahmu, karena ayahmu juga sebenarnya kesulitan, Husein.” “Jovian itu anak yang tumbuh di lingkungan yang salah. Padahal dia itu sangat cerdas, belum lagi dia juga punya masa lalu yang buruk, perasaan dendam dengan keluarga besarnya yang membuang dia menjadi anak sebatang kara. Banyak faktor yang akhirnya membuat ayahmu menjadi seorang penjahat. Ketika ia harus menembus kejahatannya pun, ia lebih memilih menyakiti dirinya sampai meninggal.” “Kamu bisa bayangkan betapa beratnya tekanan ayahmu?”

Dada Husein semakin sesak.

“Itulah kenapa saya tidak lagi marah ataupun menuntut apa yang sudah dia perbuat sama saya, karena dia sendiri juga gak kalah menderita. Meskipun saya tak menerima kalimat maafnya secara langsung tapi sudah cukup saya maafkan.” “Sekarang giliran kamu, Husein, maafkan semua masa lalu ayahmu, karena bagaimanapun juga dia adalah ayah kandung kamu. Kamu gak bisa menolak nasab, dan haram hukumnya kalau kamu tidak mengakui nasab.” “Kamu lahir dan tumbuh di lingkungan baik bahkan kamu sendiri merasa jijik dengan perbuatan jahat ayahmu, berarti itu sudah cukup menjadi jaminan bahwa kamu tidak sama dengan Jovian.”

Haidar membuka ponselnya, “Nomor kamu masih sama?”

“Ya-yang nomor Indonesia masih aktif kok.”

DRRT!! Haidar mengirimkan suatu file ke Husein, “Buka selagi kamu siap. Itu surat terakhir yang di tulis Jovian sebelum meninggal.” “Soal Mina, kamu harus pertimbangkan lagi karena itu tidak menyangkut masa lalu kamu, tapi masa depan kamu dengan anak saya.” “Saya tunggu kamu di Indonesia.”

Pria itu tersenyum jumawa sambil menyodorkan tangannya, Husein dengan senang hati membalas jabatan tangannya dengan khas gaya jantan seolah mereka sudah membuat kesepakatan.

Sedikit demi sedikit kekuatan Husein semakin terkumpul.


Akhirnya mereka makan malam bersama saling bercengkrama dengan hangat. Bertukar canda tawa sampai tak terasa jarum jam menunjukkan angka pukul setengah 9.

Detik dimana Keluarga Haidar melangkah keluar dari rumah kediaman Adit.

It really became a farewell dinner.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!” “Um... Pak Haidar, boleh minta tanda tangan gak sama foto bareng?”

“Ah iya boleh.”

Rose loncat kegirangan, dia segera menyerahkan bukunya lalu di tanda tangani Haidar, tak lupa mereka juga selfie bersama (tentu bersama Anela karena kalau tidak, ya tahu sendiri Anela itu super pencemburu...)

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung bersin-bersin akibat alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi ternyata saya di besarkan oleh keluarga pendeta, dan saya harus mengubah kepercayaan saya.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada bersama pemuda itu.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!” “Um... Pak Haidar, boleh minta tanda tangan gak sama foto bareng?”

“Ah iya boleh.”

Rose loncat kegirangan, dia segera menyerahkan bukunya lalu di tanda tangani Haidar, tak lupa mereka juga selfie bersama (tentu bersama Anela karena kalau tidak, ya tahu sendiri Anela itu super pencemburu...)

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung bersin-bersin akibat alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi ternyata saya di besarkan oleh keluarga pendeta, dan saya harus mengubah kepercayaan saya.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada di lehernya.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!” “Um... Pak Haidar, boleh minta tanda tangan gak sama foto bareng?”

“Ah iya boleh.”

Rose loncat kegirangan, dia segera menyerahkan bukunya lalu di tanda tangani Haidar, tak lupa mereka juga selfie bersama (tentu bersama Anela karena kalau tidak, ya tahu sendiri Anela itu super pencemburu...)

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung bersin-bersin akibat alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi saya harus mengubah kepercayaan saya sebagai seorang Katolik.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada di lehernya.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!” “Um... Pak Haidar, boleh minta tanda tangan gak sama foto bareng?”

“Ah iya boleh.”

Rose loncat kegirangan, dia segera menyerahkan bukunya lalu di tanda tangani Haidar, tak lupa mereka juga selfie bersama (tentu bersama Anela karena kalau tidak, ya tahu sendiri Anela itu super pencemburu...)

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung terkena alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi saya harus di baptis, dan mengubah kepercayaan saya sebagai seorang Katolik.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose seolah skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada di lehernya.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!” “Um... Pak Haidar, boleh minta tanda tangan gak sama foto bareng?”

“Ah iya boleh.”

Rose loncat kegirangan, dia segera menyerahkan bukunya lalu di tanda tangani Haidar, tak lupa mereka juga selfie bersama (tentu bersama Anela karena kalau tidak, ya tahu sendiri Anela itu super pencemburu...)

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

*Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....”


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung terkena alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi saya harus di baptis, dan mengubah kepercayaan saya sebagai seorang Katolik.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose seolah skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada di lehernya.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!”

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

*Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....”


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung terkena alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi saya harus di baptis, dan mengubah kepercayaan saya sebagai seorang Katolik.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose seolah skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada di lehernya.

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik denhan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!”

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

*Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....”


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung terkena alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi saya harus di baptis, dan mengubah kepercayaan saya sebagai seorang Katolik.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose seolah skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada di lehernya.

Mina duduk di kursi kayu menatap kedua wanita paruh baya yang sedang asik bersenda gurau sambil sibuk dengan urusan dapurnya, yaitu belajar masak makanan Indonesia.

“Katanya disuruh belajar masak, tapi malahan disuruh duduk disini, gimana sih umi?!” protes Mina.

Anela terkekeh, “Tante Angel punya resep khusus untuk kamu katanya jadi nanti kamu belajar masaknya sama Tante Angel.”

Yee gimana sih umi... tau gitu kan sambil nunggu bisa sambil bawa kerjaan ....

Mina mengedar lagi pandangannya ke sebuah foto keluarga tiap generasi, yang pertama adalah foto pernikahan Adit dan Angel. Mina pernah di ceritakan oleh ibunya kalau kedua sejoli itu menikah tanpa resepsi bahkan menggelar akadnya di rumah sakit setelah melahirkan Husein. Mungkin foto itu di ambil di studio sebagai ganti dari foto pernikahan, lalu ada foto keluarga bertiga dengan Husein yang masih berusia sekitar 1-2 tahun. Senyuman bahagia keluarga mereka seolah menutupi kisah masa lalu kelam Husein yang selama ini ia takuti.

Padahal kan selama ini mereka bisa hidup bahagia tanpa bayang-bayang masa lalu, kenapa sih Bang Husein masih aja ungkit soal masa lalunya?!

Mata Mina tertuju lagi ke sebuah foto keluarga dengan Husein yang sudah tumbuh remaja. Senyuman polosnya itu benar-benar Mina rindukan, ia adalah sosok Bang Husein yang selama ini Mina kenal.

Lalu di sampingnya lagi, yaitu foto keluarga dengan sosok Husein yang sudah dewasa. Senyuman polosnya berubah menjadi senyuman pedih yang menyimpan banyak misteri. Semakin dewasa, laki-laki itu malah tumbuh menjadi pria yang misterius.

Bahkan tak bisa di tebak pula.

Masa sih karena masa lalu itu... Bang Husein jadi banyak berubah kayak sekarang...?

“Mina! Sini, mau tante ajarin masak gak??”

Suara Angel menyadarkan Mina dari lamunan panjangnya, gadis itu langsung lari menghampiri dapur dan Angel dengan lembut mengalungkan celemek merah mudanya ke leher Mina.

“Tante, kita emang mau masak apa sih?”

Angel tersenyum simpul, “Paprikash, makanan yang paling disukai Husein.”

Mina diam mematung.


Entah apa yang salah di kepala Mina, tiba-tiba gadis itu berinisiatif untuk memberikan masakannya itu kepada Husein langsung di rumah sakit— tempat kerjanya Husein.

Flashback

“Ini Mina bungkus aja untuk di apartemen, yang penting kamu udah ngerti kan cara masaknya?”

Mina termenung lagi memandang makanan yang sudah di sajikan di atas meja dengan semerbak bau rempah yang mencuat...

“Tante, Bang Husein kalau kerja suka bawa bekal?”

Angel tersontak, “Eh? Dia sih biasanya beli makanan di luar, kenapa, Mina?”

“Mina bawa aja ya untuk Bang Husein?”

Tentu Anela dan Angel disana langsung tercengang dengan ungkapan Mina.

“Mina bukannya mau ikut umi, nak?” tanya Anela.

“Kemarin Bang Husein ngajak aku jalan-jalan ke banyak tempat terus traktir makan juga, jadi Mina mau bales buat kasih makanan ini ke Bang Husein. Gapapa kan, umi?”

Senyuman sumringah Angel seolah sangat menyambut gembira ide Mina, “Boleh banget sayang! Wah, Tante seneng banget kalau Mina mau kasih makanannya ke Husein! Soalnya anak itu kalau gak di ingetin suka gak teratur makannya.”

Anela mengangkat kedua bahunya, “Yah umi sih gimana kamu, asalkan kamu inget aja abi masih ada disini.”

Sekarang, begitu langkah kakinya sudah ada di depan gedung besar bersama lalu lalang para staf medis membuat jantung Mina berdegup tak menentu.

Tangannya yang sudah membawa rantang plastik berisikanPaprikash buatan Mina— gadis itu terus melangkah mencoba untuk mencari sosok laki-laki bermata sipit khas yang ia kenali.

“Um... Excuse me... I would like to meet Dr. Husein here...” ucap Mina kepada salah satu perawat yang berjaga di resepsionis.

“Ah, he is still in surgery. You can wait in the waiting room for 30 minutes.”

30 menit?! Lama banget ....

“Okay... thank you.”

Mina duduk di ruangan tunggu yang sudah di tunjukkan dengan hati gelisah. Ia membayangkan bagaimana reaksi Husein ketika menerima makanan yang ia bawakan.

Apakah kaget?

Atau justru senang?

Karena jujur, ada perasaan aneh yang ada di dadanya setiap ia membayangkan lagi momen manisnya bersama Husein kemarin.

Jangan lepas dari aku ya?

Mina mendecih, “Justru dia yang tiba-tiba mau lepas dari aku. Kenapa jadi seolah-olah aku yang pergi?”

10 menit berlalu ....

15 menit berlalu ....

25 menit berlalu ....

dan 30 menit sudah Mina menunggu laki-laki itu selesai dengan pekerjaannya. Suara ceklekan pintu dari ujung sana mulai terdengar bersama para rombongan dokter yang berjalan. Di belakang dokter seniornya ada sosok laki-laki klimis dengan rupa orientalnya yang khas dikenali Mina. Gadis itu berdiri dengan senyuman sumringahmya ....

“Husein!”

Suara melengking itu datang dari samping Husein, wanita asia berambut pirang itu langsung memeluk tubuh Husein erat-erat dan memberikan kotak makan siangnya kepada pemuda yang menjadi tujuan Mina pada awalnya.

Tapi...

Sekarang Mina sudah tak ada lagi tujuan, selain pulang...

“Halo, Ibra? Kamu dimana? Kakak bikin makanan nih.” “Oh? Kamu lagi janjian sama orang? Yaudah aku makan aja sendiri, kamu lanjut aja urusannya.”