Pilihan Hati
Ibra menatap kosong lalu lalang jalanan bersama mobil Honda City hitamnya, dengan Haidar— Abi Ibra yang sedang sibuk berbicara menceritakan sosok gadis yang akan ditemuinya ini. Ibra sudah tahu kalau Abinya akan merencanakan ta'aruf untuknya dalam waktu dekat ini, dan kalau di tolak duluan, ia takut kalau itu akan berdampak buruk bagi ridho dari sang Ayahanda. Jadi setidaknya ikut pertemuan pertamanya saja dulu, bagaimana nanti itu persoalan pilihan hati.
Meskipun kini sosok Rose tak bisa lepas dari pikirannya.
“Dia hafidzah lho, Bra, dan yang saya suka adalah sifat keibuannya waktu dia ngajar di pondok. Dia juga lulusan terbaik di MAN kamu, kenal gak namanya Ayudistya Ningrum?” sejak tadi Haidar terus menceritakan sosok gadis pilihan untuk sang putra dengan antusias, Ibra membalas manggut-manggut malas.
“Heh bocah lanang, dengar gak tadi Abi nanya apa?” Haidar mulai heran dengan sikap putranya yang tak fokus, “Kamu mikirin apa sih?”
“A-Anu, ini, Bi... sebenarnya hari ini saya harus ketemu klien tapi karena Abi minta saya untuk nemenin Abi pergi jadi agak kepikiran...” Tentu saja bukan itu yang mendominasi pikiran Ibra.
Haidar menghela nafas, GYUUTT!! Justru pria paruh baya itu menarik kencang telinga putranya gemas, “Kenapa gak ngomong, Ibrahim...?! Saya kan gak maksa...!!”
“A-Adududuh! Sakit, Abi, sakit! Ibra lagi nyetir!!” Ibra merintih kencang kesakitan, kalau Anela menyaksikan adegan ini bisa-bisa telinga Haidar di balas jewer juga.
“Klien penting bukan?! Kalau penting banget kamu re-schedule lagi meetingnya! Seenaknya aja kamu batalin janji gitu mentang-mentang ada Trian!”
“Yaelah santai aja, Bi! Trian bisa handle kok!”
“Tetap aja itu amanah, kamu gak boleh seenaknya gitu!”
“Gimana sih, nanti kalau saya gak ikut nemenin, Abi ngambekin saya lagi seharian!”
“Enak aja kamu, emangnya saya umi kamu apa tukang pundungan?!”
Tapi memang iya, Haidar beberapa kali pernah ngambek sama Ibra karena pada saat itu Ibra menolak pergi menemani Abinya pergi ke suatu tempat. Akhir-akhir ini, Ayah dari dua anak itu sering kali bersikap manja dengan kedua anaknya yang sudah dewasa, terutama kepada Ibra.
Entahlah, mungkin karena sudah beranjak ke usia senja.
“Eh, Kak Ibra?!”
Gadis berkerudung mocca itu terkesiap, menutup mulutnya rapat-rapat begitu mendapati sosok Ibra di depan pintu bersama Haidar.
“Kak Ibrahim, alumni MAN 4 Jakarta kan?!”
Ibra mengangguk kikuk, “I-Iya... betul?”
“A-Ah, saya junior kakak di Ekskul Tahfidz, saya Ayu kak...! Kakak... masih ingat saya?”
Ibra menggaruk-garuk kepalanya, tentu pemuda ini kebingungan karena dia punya satu kelemahan besar yang cukup fatal. Ibra itu sangat buruk kalau mengingat nama dan wajah orang, harus ketemu beberapa kali untuk mengingatnya betul.
Suasana canggung karena Ibra diam, Haidar cepat menepuk kedua bahu Ibra, “Ah kalau gitu, boleh kita ketemu Abi dulu, nak Ayu?” ucap Haidar.
“Boleh, Pak Haidar, mari masuk dulu...”
Haidar mendahului Ibra untuk melangkah masuk ke rumah dengan modern interior bewarna kelabu, ukiran kayu yang tetap mencirikan adat Jawa yang kental, mata Ayu tak berhenti melirik sosok Ibra yang diam di samping Haidar canggung.
Hati Ayu berbunga-bunga,
Ia mengetahui kalau pertemuan ini akan menjadi awal langkah cintanya yang terpendam sejak remaja akan terwujud. Siapa sangka Allah mendengar doanya tiap tahajud yang terus dia panjatkan, menyebut nama Ibra sebagai ukiran rindu yang lama ia simpan selama 8 tahun.
Sedangkan Ibra sendiri, mencoba mengingat lagi siapa sosok Ayu yang merupakan junior satu ekskulnya, ia membuka ponsel dan album memori lamanya. Menggeser satu per satu foto kebersamaan ekskulnya.
Owalah, ini Ayu..., gumam Ibra dalam hati. Matanya kembali menoleh ke Ayu yang sedang menundukkan pandangannya, kalau di lihat-lihat, Ayu memang terlihat sebagai sosok wanita keibuan yang lembut, beda dengan sosok Rose yang sedikit ceroboh dan periang.
Ah lagi-lagi kepala Ibra masih penuh dengan sosok Rose.
“Coba nak Ibra sama nak Ayu bincang-bincang disini, tanya kabar atau apa, karena kata nak Ayu... nak Ibra ini kakak kelasnya waktu di MAN, betul?” ujar Ustadz Fadhil— kawan Haidar di Kairo.
“Ah iya...” Ibra mulai bersuara, “Kamu apa kabar? Maaf tadi saya sempat diam karena takut salah panggil nama.”
“Baik, kak... gapapa kok, kita emang sudah lama gak ketemu jadi mungkin kakak lupa-lupa dikit sama saya...” balas Ayu malu-malu.
“Sudah kerja?”
“Baru saja saya wisuda 3 bulan yang lalu, jadi sekarang saya masih menyibukkan diri dengan mengajar sukarela di beberapa pondok pesantren, salah satunya pondoknya Pak Haidar.”
“Lulusan pendidikan kah?”
“Bukan, saya lulusan Sastra Inggris di UNPAD.”
“Oh iya...”
Keduanya mulai mengalir dalam percakapan kecil sebagai awal perkenalan (lagi).
Kenapa... hati gue seperti bimbang di antara dua pilihan?
Kini giliran para bapak-bapak yang sedang asyik bercakap saling menukar kisah nostalgia di masa mereka pada saat di Kairo. Ibra membuka ponselnya lagi, menatap lekat-lekat dari wajah cantik wanita yang terus melekat di benaknya. Sedikit penyesalan bahwa pertemuan keduanya harus di undur sampai tanggal yang di janjikan, kalau boleh, Ibra mau pergi sekarang juga ke kantor berharap Rose masih ada disana.
“Kak Ibra?”
Suara lembut kemayu di belakang membuat Ibra tersontak, “E-Eh, Ayu....”
“Sebentar lagi adzan maghrib, Pak Haidar mau Kak Ibra jadi imam katanya....”
Ibra menghela nafas panjang, “Iya, saya segera ke sana.”