The Truth Untold (2)

Ponsel Mina berdering menampilkan nama Ibra di layar ponselnya. Cepat gadis itu mengangkat dan suara tenor Ibra sudah terdengar menyapa kakaknya.

“Kenapa? Husein udah cerita apa aja?” tanya Ibra di sebrang sana.

Mina terdiam sejenak, “A-Aku... tahu semuanya bukan dari Bang Husein....”

“Terus?”

“Aku tahunya dari pacarnya Bang Husein.”

Ibra terkesiap bahkan sampai tersedak-sedak, “Hu-Husein punya pacar?! Wah tuh orang gak pegang omongan, sialan!”

Mina cuman menundukkan kepalanya, “Bra... tapi beneran, Abi di penjara... gara-gara ayah kandungnya Bang Husein? yang dulu bikin kita pindah-pindah sekolah, yang dulu bikin hidup kita gak tenang karena di hantuin wartawan tuh... ayahnya Bang Husein?”

Pria muda disana menghela nafas panjang, “Dari pengakuan Husein, iya, tapi gue belum sempet tanya lagi soal itu sama Abi. Gue takut itu ngebuka luka lama kita aja...” “Kenapa? Lo kecewa sama Bang Husein?”

Mina menggeleng, “Enggak, bukan gitu... Bang Husein juga korban soalnya....”

“Lo disana baik-baik aja kan sama Husein?”

“Ba-Baik-baik aja kok, kemaren dia ngerawat aku...”

“Sekarang udah enakan?”

“Udah kok...”

“Kak, dengerin gue, apapun kenyataan soal Husein, Abi dan Ayah kandungnya Husein... itu masa lalu. Abi sendiri juga udah ngelaluin semuanya dengan baik, kita jangan kayak kejebak sama memori lama.” “Bagaimanapun juga, Husein dari dulu udah kayak abang kita sendiri. Dia sering jagain kita, Mina. Masa lalu Abi sama ayah kandungnya gak ada sangkut pautnya sama Husein.” “Husein juga menderita karena kelakuan bokap kandungnya sendiri.”

Mina menunduk lagi kepalanya, Apa karena itu... Bang Husein... gak mau nepatin janjinya....?

“Cuman soal pacarnya, gue gak ngerti kok bisa-bisanya dia lagi ngejar lo eh di belakang udah punya pacar—”

“Enggak, Bra, tentang aku sama Bang Husein... udah selesai.”

“Hah maksudnya?”

Mina menahan air matanya yang hampir jatuh, “Aku sama Bang Husein... sudah selesai, Bra. Seperti yang dia mau, kita akan mengulang hubungan kita dari awal....”

Ibra ikut terdiam sejenak disana, merasakan dada yang ikut memilu. Ia tahu betul betapa beratnya Mina mengucap kalimat terakhirnya, namun tak ada gunanya Ibra untuk ikut campur lebih jauh lagi.

“Iya, bagaimana baiknya aja buat kakak... gue dukung apapun keputusan lo....”

Mereka sama-sama mengakhiri percakapan, namun Mina malah melepas kalimat akhirnya dengan tangis raungan yang menusuk dadanya.


Flashback, tahun 2029... Ibra-Mina kecil ketika Haidar melalui masa tahanan...

“WOO IBRA SAMA MINA AYAHNYA DI PENJARA IHH!! AYAHNYA PENJAHAT!!”

“Eh jangan deket-deket sama Ibra-Mina, katanya Ayahnya penjahat udah ngebunuh orang. Ih... padahal Ayahnya ustadz....”

TAK! Satu tempelan kertas melayang di punggung Mina akibat ulah jahil teman-temannya yang terus mencemooh gadis mungil itu soal musibah Ayahnya.

Tulisannya ANAK DARI AYAH MUNAFIK!!

“Kalian kenapa jahat gini sama Mina... Abi bukan orang jahat... Abi lagi jihad....” Mina kecil cuman bisa menangis sambil berlutut lemah. Ia tak mengerti kondisi apa yang membuatnya di tindas oleh kawan-kawan sekolahnya.

BUK!!!

Ibra tak tanggung langsung melayangkan satu tinju ke para pengusik Mina, bahkan tak tanggung ia menendang kawanan laki-laki bertubuh besar yang membuat kakaknya berlutut lemah.

“HEH BADAK, JANGAN GANGGU KAKAK GUA, KALO MAU SINI ADU OTOT SAMA GUA AJA!!!” Ibra sekali lagi melayang tinjuan ke pipi sang pembuat onar, tak terima di pukul, Ibra juga terkena pukulan maut dari salah satu bocah berbadan besar disana. Pertikaian mereka berubah semakin karut-marut dengan adu fisik.

*Ibra berhasil melumpuhkan musuhnya, tubuh mungilnya meniban si badan besar dengan memar-memar yang memenuhi wajah dan tubuhnya, “DENGER YE, BADAK, AYAH GUE... BUKAN PENJAHAT!!! AYAH GUE LAGI JIHAD!!! AYAH GUE LAGI BERJUANG DI JALAN ALLAH!!! SEKALI LAGI LU BILANG AYAH GUE PENJAHAT, GUE PATAHIN TULANG LO SATU-SATU!!!!” “GUE JAGOAN SILAT, MAU LU PULANG-PULANG TINGGAL NAMA, HAH????!!!!”

Ibra menoleh ke arah kakaknya yang masih duduk berlutut, tangisannya makin kencang karena ketakutan melihat adiknya yang babak belur— melindunginya dari gangguan si bocah-bocah nakal yang berhasil ia lumpuhkan. Ibra menghentak kemeja musuhnya, lalu dengan langkah tergontai dia menghampiri Mina, menarik tangannya berdiri dan melangkah pergi bersama dari keramaian.

“Ibra... badannya luka-luka gini... nanti umi khawatir lho...” ucap Mina terisak-isak.

Ibra tersenyum cengir, “Gak usah mikirin Ibra, yang penting bukan Mina yang luka.” laki-laki mungil itu menoleh ke punggung Mina, menarik kertas yang menempel sempurna disana dan merobek-robeknya hingga hancur, “Cuman Allah yang tahu gimana perjuangan Abi, gak usah dengerin apa kata orang, Mina.”

“IBRAHIM EL FATIH!!!”

*Langkah si kembar terhenti begitu wanita berkerudung merah di ujung sana meneriaki nama Ibra, sang pemilik nama menoleh santai.

“Kamu, ikut saya ke ruangan kepala sekolah!”

Ibra tersenyum cengir lagi, “Mina pulang duluan gih, paling eyang udah jemput tuh. Ibra ke ruangan kepsek dulu.”

“Gak mau! Mina mau nemenin Ibra!”

“Jangan, kalau Mina ikut nanti umi beneran khawatir. Nanti bilang aja ke umi, Ibra ada remedial.”

Sang guru sudah menarik tangan Ibra kasar menuju ruangan kepala sekolah, meskipun pada akhirnya Anela juga menyusuli Ibra untuk menghadap kepala sekolah tapi ibu dari 2 anak itu tak banyak berkomentar soal perbuatan anaknya.

Karena Anela lebih tahu tentang semua anaknya, Ibra melakukan hal demikian pasti tak jauh untuk melindungi kakaknya.”

1 kalimat Anela yang cukup mengiris hati pada saat menghadap kepala sekolahnya, “Biarlah anda menilai anak saya bahkan keluarga saya seperti apa karena situasi suami saya tapi anda harus tahu satu hal, bahwa Allah Maha Tahu Kebenaran yang sesungguhnya. Kalau anda tidak menerima lagi sikap anak saya tidak apa-apa, biar saya bawa pulang anak saya daripada harus menanggung beban malu dari orang-orang yang termakan fitnah.” “Sebelum bapak mengeluarkan anak saya, sekarang saya yang mengajukan pengunduran diri lebih dulu dari sekolah ini.”