Kuat
Naresh dan Aisyah tergopoh-gopoh lari menuju kantor polisi dan mendapati sosok Anela yang sedang menangis meringkuk wajahnya di meja besi berwarna hitam. Cepat-cepat mereka langsung mendatangi Anela dan Aisyah memeluk erat tubuh kakak iparnya.
“Kak Anela...!”
Anela menoleh ke Aisyah dengan wajah sembabnya, “A-Aisyah...” wanita malang itu kembali sesegukan menyebut nama suaminya, “Mas Haidar... Mas Haidar, Syah... Aku harus gimana... Ya Allah, apa salah dia... Mas Haidar bukan orang seperti itu... gak mungkin Mas Haidar begitu...”
Naresh langsung mencari salah satu polisi yang bertugas untuk mencari keberadaan Haidar yang sudah berada di jeruji besi.
Pemuda itu tersontak dengan kondisi Haidar yang sedang bersujud di atas alas potongan karung yang terlihat lusuh. Hatinya seketika remuk, ia sangat mengutuk perbuatan Rangga yang sudah mendzalimi orang sebaik Haidar. Seluruh aliran darahnya mengalir panas bahkan meletup-letup sampai ke ubun-ubunnya, ingin sekali ia segera datang menghajar pria tua nan bengis itu namun sayangnya bukan itu yang akan menyelesaikan masalahnya.
“Naresh?” suara lesu Haidar menyadarkan Naresh dari lamunannya, “Ah kamu sama adik saya kesini?”
Naresh mengangguk pelan, “I-Iya, Bang...”
Haidar melekukkan senyum simpulnya, “Maaf ya, karena saya semuanya jadi rumit.”
“Enggak, Bang! Ya Allah, justru Bang Haidar ini korban!” Tanpa ia sadari, satu tetes air mata mulai jatuh membasahi pipinya, “Saya... minta maaf atas perbuatan ayah tiri saya... maaf, saya belum bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat... maaf, kalau pada akhirnya saya—”
“Sudah, Naresh. Gak perlu minta maaf. Sudah jelas ini bukan kesalahan kamu, kita semua ini korban. Sekarang kamu fokus aja usut kasus ini sampai tuntas sama Eliza, pastikan Aisyah dan keluarga saya aman, biar saya yang disini untuk sementara.” “Saya yakin kamu bisa menyelesaikan ini semua, Naresh... ini semua bukan semata-mata untuk membebaskan saya aja tapi ini untuk keadilan masyarakat. Kamu melakukan sebuah amanah yang besar, kalau kamu berhasil mengusut orang-orang jahay itu... berarti kamu juga berhasil menyelamatkan banyak nyawa di masa depan.” “Hanya itu yang saya titip untuk kamu, tolong ya?”
Naresh semakin terisak-isak bahkan ia melutut di hadapan Haidar dengan penuh penyesalan.
“Bang... saya minta maaf...”
“Sudah, Naresh. Jangan nangis kayak gini, saya gak perlu di tangisi.” “Kamu ingat pelajaran kita dulu waktu di pondok? Surat Ali Imran ayat 139.”
Naresh melantunkan ayat tersebut dengan isakkannya, “Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a'launa ing kuntum mu`minīn“
Haidar terhenyak, “Dan janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang beriman.” dari balik jeruji besi, tangan besar Haidar menggapai pucuk kepala Naresh dan menepuknya pelan, “Kamu memang murid kebanggaan saya, Naresh.”
Sekali lagi, tangisan Naresh pecah di hadapan laki-laki bersurai coklat berantakan yang terus menepuk kepalanya. Lekukan senyum teduh Haidar menunjukkan betapa tegarnya pria itu dalam menghadapi ujian yang terus menguji keteguhan hatinya terhadap takdir Sang Maha Kuasa.