Clue or Hint?
Naresh menatap ponselnya lemat-lemat, dimana ia sedang meratapi foto kebersamaannya dengan Haidar.

Ya Allah... sampai sekarang masih belum ada bukti kuat untuk membebaskan Bang Haidar... mau sampai kapan gue masih stuck di pusarannya Rangga? Gue harus cepat-cepat ringkus kumpulan tikus sialan itu!
TOK...TOK...TOK...
Pemuda berjas putih itu cepat membukakan pintunya, dan orang pertama yang muncul di hadapannya...
“Jov?” Naresh memencak matanya kaget. Jovi tak menggubris panggilan kawannya, ia cepat mengambil posisi duduk di sofa abu-abu modern dengan santai sambil merenggang kedua tangannya.
“Kok cuman gue disini? Eliza mana?”
“Lagi di jalan, Aisyah juga sebentar lagi selesai.”
Jovi menjawab oh ria.
Berselang 10 menit kedatangan Jovi, sosok Eliza dengan blazer merah dan kacamata hitamnya datang dengan wajah angkuh, di belakangnya ada Aisyah yang sedang menunduk bersembunyi di balik punggung wanita yang lebih tua darinya itu.
“Oh, udah kumpul semua?” Eliza menyeringai begitu matanya beradu dengan netra tajam Jovian, “Terima kasih sudah mau datang membantu, Pak Jovian.”
“Langsung aja ke inti, apa yang bisa gue bantu?”
Eliza langsung membuka pembicaraannya dan meletakkan ponselnya yang menampilkan hologram berisi dokumen-dokumen yang ia terima semalam, “Gue nemu barang bagus, dan semuanya bisa jadi senjata kita untuk di pengadilan nanti,” begitu Eliza memutar salah satu audio dari dokumen yang ia dapatkan itu, sontak membuat mata Naresh dan Aisyah terbelelak bersamaan.
“Lho, ini kan rekaman suara yang...”
“Kak! Ini rekaman suara yang waktu itu Kak Jovi rekam kan?! Ko-kok bisa?! Bukannya file kemarin hilang karena itu ilegal?”
Eliza menoleh ke Jovian, “Gimana, Jov, bisa bantu jawab?”
Jovian menjawab dengan nada dingin, “Di buka lagi aksesnya dari intel, dan kemungkinan yang kirim file itu salah satu pihak intel disana. Gak tahu dibuka aksesnya itu secara legal atau ilegal.”
“Ini bukan sembarangan intel, Jov, ini punya intel Amerika. Orang mana yang punya koneksi seluas itu?”
“Bisa aja salah satu dari rekan polisi lo.”
“Terlalu basi kayaknya.”
Jovian mulai mendecih malas, “Oke terus apa?”
“Jujur aja, orang-orang yang bisa punya akses sampai sejauh ini cuman 2 orang. Yang pertama, intel yang secara resmi di utus pemerintah untuk tugas rahasianya dan yang kedua, adalah intel backingan para mafia-mafia besar yang hendak menguasai dunia dengan cara hitamnya, dan gue menarik kesimpulan bahwa orang yang punya akses untuk mengirim dokumen ini ke gue adalah pihak yang kedua tadi.” “Bahasa simpelnya, yang punya akses untuk kirim dokumen ini ke gue kemungkinan besar adalah salah satu komplotan dari Perusahaan Farmasi Yeoreum itu sendiri.”
Naresh mengernyit dahinya heran, “Tunggu, tunggu, ini kedengerannya kayak senjata makan tuan. Untuk apa komplotan dari Perusahaan Farmasi Yeoreum-nya sendiri yang kirim bukti ini ke lo? Secara banyak data-data rahasia disana yang bisa mengancam rencananya sendiri?”
Lagi-lagi, wanita itu cuman tersenyum miring penuh arti sambil terus memandang Jovian lemat-lemat, “Enggak, itu masih sebagian kecil dari rencana besarnya dan lo harus tahu kalau ternyata cuman dengan cara itu... mereka bisa melancarkan misi besar mereka yang sesungguhnya.” “Mereka bukan menyerahkan diri, tapi lebih tepatnya... mereka lagi memangkas hama-hama yang sudah gak berguna dalam rencana mereka, termasuk bokap tiri lo dan Pak Romi, bener kan logika gue, Jov?”
Jovian memanggut-manggut kepalanya, “Mantap lo, Liz, gak heran lo itu detektif andalannya pemerintah.”
“Terima kasih pujiannya.”
Aisyah mengangkat tangannya, “Kalau kita bawa bukti ini ke pengadilan nanti, apa Bang Haidar bisa di bebaskan?”
Eliza mengangguk, “Bisa. Dengan bukti ini semua, Bang Haidar sudah bisa di nyatakan bersih.”
Aisyah langsung mengucap syukur tiada henti begitupun dengan Naresh. Jovian cuman ikut tersenyum simpul melihat kedua orang di sampingnya itu bersukacita.
“Jovian,” Eliza berdiri di hadapannya Jovian lurus, “Gue harap lo bisa ikut saksiin persidangannya Kak Haidar nanti.”
Jovian mengangkat satu alisnya, “Untuk apa?”
“Sebagai saksi dari hasil analisa gue, karena salah satu komplotan dari Perusahaan Farmasi Yeoreum itu akan muncul juga di persidangan nanti.” “Gue mau lihat, batang hidung penjahat kelas kakap itu seperti apa.”
Mata Jovi terbelelak lebar, Eliza menepuk bahu bidang Jovian pelan dan membisik di telinganya...
“Kita harus menuntaskan kasus ini sampai ke akar-akarnya, sayang...”
Jovian membeku begitu melihat tingkah aneh dari wanita berambut panjang sepunggung yang tergerai cantik itu. Tak lupa Eliza mengedip satu matanya memberi isyarat tersembunyi ke arah Jovian dan mengambil ponselnya pergi keluar dari ruangannya, “Oh ya, Naresh, ada yang mau gue omongin sama lo secara empat mata. Ayo ikut gue.”
Naresh menoleh kaget dan mau tak mau ia mengikuti langkah Eliza dari belakang meninggalkan Jovian yang diam mematung disana bersama Aisyah yang sedang siap-siap untuk pergi juga menjalankan pekerjaannya kembali.
Tuh cewek sarap ya?
“Kenapa, Liz?”
Eliza merogoh lagi ponselnya dan membuka isi galeri yang sudah ia simpan foto seorang pria misterius.
“Sebelumnya gue mau tanya sama lo tapi ini... kayaknya udah ranah ke pribadi.” “Bokap kandung lo kemana?”
Naresh tersentak dengan pertanyaa itu, “Woah, tidak sopan sekali anda.”
“Tolong jawab. Gue butuh jawaban pastinya dari lo.”
Pemuda itu mengecak pinggangnya dan menghela nafas panjang, “Udah lama meninggal.”
“Meninggal... kenapa?”
“Kecelakaan pesawat tahun 2006, waktu gue masih kecil.”
Eliza kembali menarik nafasnya, “Kalau boleh tahu nama bokap kandung lo siapa?”
“Gabriel Agil Ishaaq.”
SET! Eliza menyodorkan ponselnya yang menampilkan sosok dari pria yang wajahnya sangat mirip dengan Naresh.
“Nama beliau adalah Ajil Mustafa Baihaqi, nama tersebut adalah namanya yang sudah tercatat secara resmi di sipil pada tahun 2006 dan sebelumnya... nama beliau itu adalah Gabriel Agil Ishaaq, sesuai yang lo sebutkan tadi.” “Sorry to say... Bokap kandung lo masih hidup, Res, dan bokap lo itu adalah tangan kanan pimpinannya Perusahaan Farmasi Yeoreum.”
Jantung Naresh seketika berhenti berdetak dengan matanya yang memencak lebar.
“Bokap gue... masih hidup...?”