Keraguan
Aisyah duduk termenung menatap minuman kopinya. Punggungnya yang menyandar ke sandaran kursi kayu putih dengan lesu, kepalanya di penuhi oleh sejuta keraguan yang membuat hatinya ganjal.
Tentu itu semua tentang lelaki yang sudah berjanji untuk segera meminangnya.
Namun sayang badai masih terus menghalau jalan mereka.
“Aisyah!”
Suara melengking milik wanita berhijab pink itu membuyarkan lamunan panjang Aisyah. Ia cepat mengambil posisi tegak menghadapi kakak iparnya yang sudah membawakan kue cheesecake buatannya.
“Nih, cheesecake spesial buatan Kak Anela! Ayo di coba dong!” Anela menyodor satu sendok kecilnya di pinggir, “Mas Haidar aja doyan banget lho, dia bawa 3 slice sekaligus ke kampus!”
Aisyah mengernyit dahinya, “Ih, Kak Anela! Si Abang kan gula darahnya udah tinggi banget! Jangan di manjain terus kasih makanan manis kayak gini, mending buat Ibra, Mina ama Aisyah aja! Dia kasih aja buah-buahan yang banyak!”
Anela ketawa geli melihat adiknya yang sewot soal kesehatan abangnya itu, “Tadinya mau gitu, Syah... cuman tadi mukanya melas banget mau makan cheesecake ya jadinya aku gak tega... cheating sehari gapapa kali, Syah...”
Aisyah hanya mendengus sebal, “Kebiasaan dia mah, ama istri manja banget, heran.”
Lagi-lagi Anela tertawa cekikikan sambil ikut melahap kue buatannya itu.
“Eh iya, kamu mau curhat apa soal Naresh?”
Aisyah langsung menoleh kanan-kiri celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka.
“Uhm... jadi gini, Kak Anela...” Aisyah meletakkan sendoknya, “Aisyah... mulai ragu dengan kesungguhan Dokter Naresh untuk menikahi Aisyah...”
Anela menghentikan aktivitas makannya dan matanya membesar menatap netra adik iparnya yang mulai bergetar, “Naresh kenapa, Syah?”
“Ya aku cuma ngerasa, kayaknya disini yang menginginkan pernikahan ini cuman Aisyah aja. Kak Naresh pada akhirnya cuman ngulur-ngulur waktu dan perasaan aku aja.” “Aku dari tadi di tempat kerja berusaha untuk menghindar dari dia, aku gak mau lihat muka dia dulu. Untung aja Abang ngeblock nomernya Kak Naresh dari hape Aisyah jadi dia gak akan chat atau telepon untuk ngusik aku lagi.”
Aisyah menghela nafasnya kasar, “Aisyah gak tahu mau sampai kapan kayak gini, karena ternyata... menunggu itu sakit, Kak. Aisyah pikir dengan sabar masih bisa untuk menenangkan hati Aisyah tapi ternyata... Aisyah masih gelisah juga.” “Aisyah berusaha memahami situasi Kak Naresh, tapi ya gimana, Kak... Aisyah gak bisa bohong kalau soal hati.”
Anela meraih punggung tangan adiknya dengan lembut, mengusapnya perlahan sambil tangan satunya menepuk pucuk kepala gadis berseragam biru pastel, “Adiknya kakak sekarang udah besar ya...” “Aisyah, memang wajar kamu merasakan dilema seperti ini ketika menuju pernikahan. Aku pun dulu meskipun memang udah sukaa banget sama Mas Haidar, dia kan cuek banget sama aku dan banyak sikap dia yang membuat aku bimbang kayak 'ini orang beneran mau nikahin gue apa enggak sih?' tapi setelah aku berusaha untuk fokus memperbaiki diri dan dia datang untuk menikahi aku, semua keraguan aku hilang gitu aja, dan setelah menikah pun aku tetap merasakan keraguan itu karena banyak ujian-ujian dalam rumah tangga yang tak terduga antara aku dan Mas Haidar. Setelah kita melewati semuanya sama-sama dan kami memutuskan untuk saling percaya satu sama lain, akhirnya aku bisa mengatasi semua rasa bimbang dalam hati aku sampai akhirnya punya si kembar, dan gak kerasa usia pernikahanku sekarang udah mau menginjak angka 10.” “Kakak paham kamu gelisah, ragu, bimbang kayak gini karena sebentar lagi kamu akan menjalani kehidupan baru bersama orang baru juga yang akan menjadi pendamping hidup kamu. Kalau kakak lihat sih dari Naresh-nya, dia memang serius mau meminang kamu tapi ya memang situasinya lagi sulit. Mas Haidar sendiri gak bisa mendesak Naresh untuk segera melamar kamu, padahal yang paling dia takutin tuh situasi yang lagi kamu rasain ini lho.”
Aisyah memencak, “Hah? Bang Haidar takut aku kayak gini? Maksudnya?”
“Hahahaha, dia sayang banget sama kamu, Aisyah. Dia lagi nyari cara untuk segera menyelesaikan masalah perusahaannya yang melibatkan Naresh juga, bahkan dia minta sama Papa aku untuk kirim detektif handal dari luar sekalian biar masalahnya cepat selesai. Dia bilang, dia gak mau masalahnya ini sampai menghalangi niat baik Naresh yang ingin segera meminang kamu, tapi dia gak mau gegabah untuk mendesak Naresh karena situasinya Naresh juga sedang sulit dan itu bisa membahayakan kamu juga. Dia juga perhatiin kamu yang uring-uringan kayak gini, jadi dia juga gak enak ngelihatnya.”
Aisyah cemberut, “Ish si abang mah diem-diem aja, hibur adeknya kek.”
“Ya kamu tahu sendiri, dia bukan tipe orang yang perhatian lewat kata-kata tapi dia lebih fokus untuk mengatasi kegelisahan kamu itu, Syah.” “Begitupun dengan Naresh, dia juga sedang berusaha untuk mengatasi semuanya dan memastikan keselamatan kamu itu benar-benar terjaga. Mungkin kelihatannya Naresh tipe orang yang suka main-main, tapi aku bisa melihat betapa tulusnya perasaan dia sama kamu ketika dia mau mengorbankan nyawanya untuk kamu, Syah.” “Naresh bukan tipe orang yang mau berkorban kayak gitu lho, kalau bukan karena dia benar-benar mencintai seseorang itu.”
Aisyah merenung semua kalimat kakak iparnya itu. Sekelibat memorinya tentang bagaimana Naresh memperlakukannya dengan spesial itu terbayang di kepalanya, dan lagi-lagi hatinya malah terasa semakin sesak.
“Aisyah... salah gak sih ngerasain kayak gini, kak? Kok aku gak tahu diri banget...”
“Enggak kok, wajar, memang fase orang mau menikah tuh kayak gini, Syah. Aku jadi kamu juga pasti bakalan ragu malahan aku mah ngedesak Naresh untuk kasih kepastian yang bener hahaha...” “Tapi untuk sekarang sih pesan aku, ya kamu mending fokus aja dengan diri kamu. Misalnya belajar masak dulu, atau ikut kelas pra-nikah di pondok biar kamu gak fokus ke Naresh-nya.” “Jangan sampai keraguan kamu ini membuat kamu lupa dengan pengorbanan Naresh untuk kamu selama ini, Syah.”
Perlahan hati Aisyah mulai bangkit dari rasa gundahnya. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap lurus kakak iparnya dengan mantap.
“Iya deh, kak, Aisyah mau coba lebih sabar lagi.” “Bismillah, Aisyah... dah! Aisyah udah gak galau lagi! Hahaha, sekarang mau kerja dulu nih, udah di chat sama Bu Tyas di suruh ke IGD hehehe...”
“Oh iya, hati-hati ya sayang! Inget jaga diri kamu!”
“Iya, Kak Anela! Makasih ya buat cheesecake-nya! Enak banget, hehehe...!!”
Anela tersenyum lebar sambil terus melambaikan tangannya riang ke adik iparnya. Matanya melirik lagi ke satu kotak berisi satu cheesecake utuh yang tersisa...
“Waduh, lupa bilang ini satu lagi buat Naresh! Gimana ya... titip aja deh ke temennya Aisyah.”