Malam Tahun Baru, 2025

Malam tahun baru pukul setengah 9, seharusnya gue bisa tersenyum lebar di saat ponsel gue ramai dengan notifikasi ucapan selamat dari rekan-rekan dan anak didik gue melalui sosial media.

Tapi lagi-lagi, hati gue kosong.

Suara kembang api yang sukses membunuh kesunyian di dalam ruangan kafe VIP yang hanya menyisakan gue disini sendirian. Gue sengaja memesan tempat ini untuk menghabiskan waktu sendiri untuk tenggelam dalam lamunan.

Gue gak mau sisi lemah ini terlihat oleh siapapun.

Mata gue tertuju lagi dengan langit malam yang masih di hiasi kembang api. Rasanya bahagia kalau misalnya kita bisa menghabiskan sisa-sisa tahun terakhir tanpa penyesalan seperti gue sekarang.

Lebih tepatnya...

Seandainya gue bisa menghabiskan masa-masa ini bersama Abi.

“Bella?”

Gue tersontak di tempat dan cepat-cepat menghapus air mata dari pipi...

Dan gue gak kalah shock dengan laki-laki yang ada di sana.

”... Nathan?”


“Gimana kabar kamu, Bel?”

“Alhamdulillah baik, Nathan sendiri gimana?”

“Baik, Bel...”

Kita duduk saling berhadapan, saling menatap kosong lalu memaling lagi ke arah sinar bulan. Pertemuan ini sangat tidak terduga bahkan gue gak ada bayangan akan ada Nathan disini.

“Kamu tinggal di Jakarta sekarang?” Nathan membuka suara.

“Iya, aku kerja disini.”

“Kerja apa?”

“Guru, Nat.”

“Guru? Wih mantep juga kamu, Bel!”

Gue ketawa renyah, “Kamu sendiri, Nat?”

“Aku masih koas, Bel, bentar lagi mau UKMPPD jadi doain aja.”

“Wah kamu mau jadi dokter, Nat?!”

“Haha iya.”

“Keren ih, salut aku...”

Gue gak berhenti mendecak kagum. Ya gimana enggak? dokter itu cita-cita gue dulu! Dan gue selalu kagum sama orang yang bisa masuk kedokteran dan jadi seorang dokter.

Kami hening sejenak.

“Bel,” Nathan memanggil gue lagi, “Aku... boleh kasih tahu kamu satu hal?”

“Tentang apa?”

“Tentang dulu aku pindah ke Bandung dan... soal perasaan aku dulu sama kamu.”

Seketika jantung gue rasanya berhenti berdetak.

“Kenapa, Nat...?”

“Maaf aku gak kasih tahu soal ini sama kamu. Sebenarnya aku pindah ke Bandung tuh bukan karena pindahan atau gimana, Bel...” “Aku... sakit keras, bahkan aku tadinya hampir meninggal, Bel.”

Bella membulatkan matanya.

“Dari kecil aku punya penyakit gagal ginjal. Setiap hari aku harus cuci darah dan kondisi fisik aku benar-benar lemah gak berdaya, Bel... dan detik aku pindah itu, kondisi aku udah cukup parah...” “Di Bandung aku sempet koma, dan pada saat itu rasanya kayak aku udah gak ada harapan hidup lagi, Bel, tapi ternyata Tuhan masih kasih kesempatan aku untuk hidup... akhirnya aku ikut tranplantasi ginjal yang ada di Bandung dan operasinya berjalan lancar. Sekarang aku jauh lebih sehat di banding dulu, Bel.” “Aku... mau minta maaf dulu pernah menyakiti perasaan kamu dengan nolak kamu sekasar itu, aku benar-benar frustasi Bel, aku bingung banget...” “Karena sebenarnya dulu aku juga suka sama kamu.”

Sekali lagi, nafas gue tercekat di tengah dan jantung gue benar-benar seperti di sambar oleh petir karena sebuah fakta mengejutkan yang keluar dari bibir Nathan setelah sekian lama kita gak ketemu.

“Maaf sekali lagi, Bella... dulu aku pikir dengan cara itu kamu bisa bahagia sama Abi...”

“Nyatanya aku juga gak bahagia sama Abi, Nat. Sekarang aku sendirian...”

Nathan mendongak kepalanya, “Ha-hah?”

“Aku dan Abi juga gak bahagia setelah kepergian kamu. Hubungan kita juga ikut hancur, dan itu semua karena kebodohan Bella.”

“Maksud kamu apa, Bel? Aku gak ngerti—”

“Nathan tau? Waktu Nathan tolak Bella 6 tahun yang lalu, rasanya dunia tuh runtuh dan Bella galaunya setengah mati. Bella gak bisa berhenti nangisin kepergian Nathan, dan Bella selalu bertanya-tanya apa salah Bella? Bella sejelek apa sampai di tolak kayak gitu sama Nathan? Bella terus-terusan nyalahin diri sendiri.”

“Maaf, Bella, aku gak maksud—”

“Dan kamu tau apa? Abi lagi-lagi bertahan di sisi Bella dan menemani kesedihan Bella sampai akhirnya Bella berhenti untuk nangisin Nathan. Abi dengan sekuat tenaga dia terus menghibur Bella, kalau bukan karena Abi... mungkin Bella udah terpuruk banget gara-gara kamu.” “Sekarang kamu datang dan minta maaf karena dulu kamu nyakitin Bella? Belum lagi kamu bilang itu semua ada alasannya?”

“Aku minta maaf sebesar-besarnya, Bella... makanya aku mau meluruskan semuanya.”

“Kalau aku tahu soal kamu dari awal, mungkin aku bisa jadi orang yang selalu ada di sisi kamu juga meskipun sebagai teman. Bella gak masalah kalau cinta di tolak asalkan masih bisa berteman, Bella gak akan menghakimi situasi Nathan.” “Dan mungkin... Bella gak akan nangisin kamu berkali-kali di hadapan Abi dan melukai hatinya, Nat.”

Nathan menundukkan kepalanya, “Iya, Bel... maaf untuk semuanya. Aku memang salah...”

“Sekarang, Bella juga kehilangan Abi selama 5 tahun, Nat, hubungan kita hancur gitu aja hanya karena kebodohan Bella yang gak pernah tahu soal perasaan dia.” “Bella terlalu menganggap enteng soal hubungan Bella dengan Abi karena kita sahabatan dari kecil. Bella banyak ngelukain hati Abi karena Bella sendiri gak tahu perasaan Abi seperti apa sama Bella... begitu semuanya hancur, Abi langsung pergi dan nyalahin semuanya ke Bella.” “Kalian tuh kenapa sih... sukanya diem-diem aja? Kenapa sih susah banget untuk bilang semua yang ada di isi kepala kalian? Kenapa kalau semuanya udah hancur, Bella yang di salahin??”

“Enggak, Bel, ini bukan salah kamu... Aku yang salah, aku minta maaf kalau udah banyak ngelukain hati kamu.”

“Hiks... Bella capek dengan semua penyesalan ini, Nat... hiks... Bella juga kalau bisa mau minta maaf dan menembus semua rasa sakit kalian...”

“Enggak, Bel, gak usah, aku yang harus nembus kesalahan aku sama kamu.” “Kamu bilang kamu kehilangan Abi selama 5 tahun kan? Kamu gak kehilangan dia, Bel, dia ada disini. Aku tinggal satu apartemen sama Abi dari kuliah jadi kalau kamu mau tanya-tanya kabar soal Abi kamu boleh tanya langsung lewat aku.”

Bella mendongak kepalanya, “A-Abi... tinggal sama Nathan?”

“Iya, kebetulan dulu kampus kita deketan, Bel, dan aku kan juga ngerantau dari Bandung jadi Abi nawarin aku untuk tinggal satu apartemen.” “Abi juga cerita banyak hal tentang Cimahi selama aku gak ada, dan disitu jujur aja aku merasa bersalah banget, terutama sama kamu. Aku ngerasa dulu cara aku nolak kamu terlalu berlebihan, padahal maksud aku nolak kamu tuh gak kayak gitu.” “Aku cuman mikir, kamu gak akan bahagia sama aku dan cuman Abi yang bisa membahagiakan kamu, Bel.”

“Kamu siapa berhak ngatur-ngatur kebahagiaan aku?” “Nyatanya aku sama dia gak bahagia juga.”

Nathan menghela nafasnya panjang, “Iya aku tahu... makanya aku minta maaf untuk semuanya, Bel...” “Sekarang aku ingin menembus kesalahan aku sama kamu, kamu mau apa? Mau aku temuin sama Abi? Nanti aku cari cara gimana biar kamu bisa ketemu sama Abi.”

Gue menggeleng pelan,

“Gak usah, aku cuman mau bilang... mulai detik ini tolong jangan sembunyiin apapun dari aku, Nat.” “Jangan pernah buat aku kayak orang bego di hadapan kalian hanya karena takut aku sakit dengan kebenaran, karena aku udah cukup menderita 5 tahun karena kesalahan itu yang berulang dari kamu dan Abi.”

Nathan mengangguk paham, “Iya, Bel, mulai sekarang kita berteman dan saling terbuka ya?”

Gue tersenyum simpul, “Iya, Nat...”