shinelyght

Langkah Mina terhenti begitu seorang pria berjaket krem tua itu— Aaron, menepuk bahunya.

“Mina!” sahutnya dengan senyuman lebar, “Kamu udah makan? Kita makan di luar yuk?!”

“Ah maaf, Kak Aaron... Mina udah ada janji ....”

“Oh gitu? Yah sayang banget, sama siapa emangnya??”

“Aminah!!”

Suara bariton dari belakang sana sontak membuat keduanya menoleh ke sumber suara, laki-laki itu melambaikan tangannya sambil tersenyum riang sampai matanya menyipit membentuk bulan sabit khasnya— Husein.

“Ayo kita makan!” Husein melempar tatapan sinisnya ke Aaron.

“Ngapain kesini segala sih? Kan nanti aku keluar nyusul Bang Husein!”

“Ya emang kenapa? Meg akarok ismerkedni a barátnőmmel.” lagi-lagi pemuda itu seolah menargetkan kalimatnya barusan ke arah Aaron yang cuman diam menatap mereka.

Mina mengangkat satu alisnya, “Hah? Apaan sih?”

Husein menggeleng, “Udah yuk masuk ke mobil.”

Aaron cuman tertawa renyah dengan senyuman miring melekuk di pipinya sempurna...

Oh... jadi gitu ....


“EH?? INI BANG HUSEIN NGAJAK MINA NAIK KAPAL??”

Husein mengangguk mantap, “Iya! Kamu belum pernah kan keliling kota pakai kapal?” “Aku udah booked tiketnya kok, yuk kita langsung masuk!”

Pemuda itu menarik lengan gadis kasihnya masuk ke loket lalu setelahnya mereka duduk bersanding menunggu kapalnya beroperasi, degupan jantung Mina mulai berpacu cepat, rasanya aneh ketika harus naik kapal berdua dengan laki-laki, dan laki-laki itu adalah Husein.

“Lihat deh,” Husein menunjuk ke sebuah gedung artistik yang megah nan klasik khas kota Budapest, “Itu Matthias Church, Gereja Katolik Roma yang udah dibangun dari abad ke-10.”

Mina mengangguk oh ria sambil memandang pemandangan kota lagi yang terus berjalan, “Ih, itu kan tempat yang kita datengin kemarin kan?! Fisherman's Bastion bukan sih namanya?!”

“Hahaha iya betul.”

Ekspresi bahagia Mina terukir jelas di wajahnya hingga senyumnya menampilkan lesung pipit yang tersembunyi, ia memejam matanya, meresapi angin musim dingin yang segar bersama hangatnya momen kebersamaan bersama orang terkasih. Husein di sampingnya ikut terhenyak dengan momentum ini, kerinduan yang ia tahan selama 12 tahun seketika tumpah hari ini.

“Bang Husein aku mau lihat di luar situ dong!” decak Mina girang.

“Iya boleh, yuk.”

Mina berdiri dari tempatnya di ikuti Husein yang bantu menjaganya dari belakang.

DRRK! BRUK!

Tiba-tiba Mina kehilangan keseimbangannya dan tubuhnya langsung terjatuh tepat di tangan kokoh Husein. Mereka saling menatap sejenak— Mina langsung memalingkan wajahnya dan buru-buru berdiri meskipun langkahnya sedikit tergontai.

“Sini, pegangan,” Husein menawarkan lengannya, “Bukan modus ya, nanti kamu jatuh lagi repot.”

Aduh... jantung gue kok berisik banget sih, kalo Bang Husein denger gimana?!

“Ayo cepet pegangan sini.”

Mina tak ada pilihan selain menuruti kata Husein untuk mengalung tangannya di lengan kekar Husein. Terakhir kali keduanya saling bergandengan lengan itu ketika Mina masih kelas 3 SD dan Husein kelas 5 SD, pada saat mereka menyebrang ke kafe es krim depan sekolahnya lalu memesan es krim coklat couple set.

Keduanya berjalan kikuk menuju pemandangan luar yang di pinta Mina.

“Mina ....”

Mina mendelik, “Hm?”

“Jangan pernah lepas ya?”

“Lepas apa...?”

Husein tersenyum hangat, “Jangan pernah lepas dari aku.”

Satu kalimat yang mampu memporak-porandakan hati Mina yang sudah ia tata susah payah setelah patah hati tempo hari itu...

Seperti malam yang cepat bersilih ganti,

Husein memberikan harapan lagi yang kedua kalinya.

Mina tidak lengah. Ia melepas tangannya malahan justru ia menjulurkan lidah mengejek pemuda bermata sipit itu.

“Wleek! Bang Husein sekarang jago banget ngalusnya!”

Laki-laki itu tercengang.

“Aku gak akan pergi kemana-mana... selama gak ada yang membawa aku pergi,” Mina mengakhiri kalimatnya dengan elegan.


ps : Meg akarok ismerkedni a barátnőmmel. >>> Aku ingin jumpa dengan kekasihku.

Langkah Mina terhenti begitu seorang pria berjaket krem tua itu— Aaron, menepuk bahunya.

“Mina!” sahutnya dengan senyuman lebar, “Kamu udah makan? Kita makan di luar yuk?!”

“Ah maaf, Kak Aaron... Mina udah ada janji ....”

“Oh gitu? Yah sayang banget, sama siapa emangnya??”

“Aminah!!”

Suara bariton dari belakang sana sontak membuat keduanya menoleh ke sumber suara, laki-laki itu melambaikan tangannya sambil tersenyum riang sampai matanya menyipit membentuk bulan sabit khasnya— Husein.

“Ayo kita makan!” Husein melempar tatapan sinisnya ke Aaron.

“Ngapain kesini segala sih? Kan nanti aku keluar nyusul Bang Husein!”

“Ya emang kenapa? Meg akarok ismerkedni a barátnőmmel.” lagi-lagi pemuda itu seolah menargetkan kalimatnya barusan ke arah Aaron yang cuman diam menatap mereka.

Mina mengangkat satu alisnya, “Hah? Apaan sih?”

Husein menggeleng, “Udah yuk masuk ke mobil.”

Aaron cuman tertawa renyah dengan senyuman miring melekuk di pipinya sempurna...

Oh... jadi gitu ....


“EH?? INI BANG HUSEIN NGAJAK MINA NAIK KAPAL??”

Husein mengangguk mantap, “Iya! Kamu belum pernah kan keliling kota pakai kapal?” “Aku udah booked tiketnya kok, yuk kita langsung masuk!”

Pemuda itu menarik lengannya masuk ke loket lalu setelahnya mereka duduk bersanding menunggu kapalnya beroperasi, degupan jantung Mina mulai berpacu cepat, rasanya aneh ketika harus naik kapal berdua dengan laki-laki, dan laki-laki itu adalah Husein.

“Lihat deh,” Husein menunjuk ke sebuah gedung artistik yang megah nan klasik khas kota Budapest, “Itu Matthias Church, Gereja Katolik Roma yang udah dibangun dari abad ke-10.”

Mina mengangguk oh ria, “Itu kan tempat yang kita datengin kemarin kan?! Fisherman's Bastion?!”

“Hahaha iya betul.”

Senyuman Mina terukir jelas di wajahnya hingga menampilkan lesung pipitnya yang tersembunyi, ia memejam matanya, meresapi angin musim dingin yang segar bersama hangatnya momen kebersamaan bersama orang terkasih. Husein di sampingnya ikut terhenyak dengan momentum ini, kerinduan yang ia tahan selama 12 tahun seketika tumpah hari ini.

“Bang Husein aku mau lihat di luar situ dong!” decak Mina girang.

“Iya boleh, yuk.”

Mina berdiri dari tempatnya di ikuti Husein yang bantu menjaganya dari belakang.

DRRK! BRUK!

Tiba-tiba Mina kehilangan keseimbangannya dan tubuhnya langsung terjatuh tepat di tangan kokoh Husein. Mereka saling menatap sejenak— Mina langsung memalingkan wajahnya dan buru-buru berdiri meskipun langkahnya sedikit tergontai.

“Sini, pegangan,” Husein menawarkan lengannya, “Bukan modus ya, nanti kamu jatuh lagi repot.”

Aduh... jantung gue kok berisik banget sih, kalo Bang Husein denger gimana?!

“Ayo cepet pegangan sini.”

Mina tak ada pilihan selain menuruti kata Husein untuk mengalung tangannya di lengan kekar Husein. Terakhir kali keduanya saling bergandengan lengan itu ketika Mina masih kelas 3 SD dan Husein kelas 5 SD, pada saat mereka menyebrang ke kafe es krim depan sekolahnya lalu memesan es krim coklat couple set.

Keduanya berjalan kikuk menuju pemandangan luar yang di pinta Mina.

“Mina ....”

Mina mendelik, “Hm?”

“Jangan pernah lepas ya?”

“Lepas apa...?”

Husein tersenyum hangat, “Jangan pernah lepas dari aku.”

Satu kalimat yang mampu memporak-porandakan hati Mina yang sudah ia tata setelah patah hati tempo hari itu...

Seperti malam yang cepat bersilih ganti,

Husein memberi harapan lagi yang kedua kalinya.

Mina tidak lengah. Ia melepas tangannya malahan justru ia menjulurkan lidah mengejek pemuda bermata sipit itu.

“Wleek! Bang Husein sekarang jago banget ngalusnya!”

Laki-laki itu tercengang.

“Aku gak akan pergi kemana-mana... selama gak ada yang membawa aku pergi.”


ps : Meg akarok ismerkedni a barátnőmmel. >>> Aku ingin jumpa dengan kekasihku.

Langkah Mina terhenti begitu seorang pria berjaket krem tua itu— Aaron, menepuk bahunya.

“Mina!” sahutnya dengan senyuman lebar, “Kamu udah makan? Kita makan di luar yuk?!”

“Ah maaf, Kak Aaron... Mina udah ada janji ....”

“Oh gitu? Yah sayang banget, sama siapa emangnya??”

“Aminah!!”

Suara bariton dari belakang sana sontak membuat keduanya menoleh ke sumber suara, laki-laki itu melambaikan tangannya sambil tersenyum riang sampai matanya menyipit membentuk bulan sabit khasnya— Husein.

“Ayo kita makan!” Husein melempar tatapan sinisnya ke Aaron.

“Ngapain kesini segala sih? Kan nanti aku keluar nyusul Bang Husein!”

“Ya emang kenapa? Meg akarok ismerkedni a barátnőmmel.” lagi-lagi pemuda itu seolah menargetkan kalimatnya barusan ke arah Aaron yang cuman diam menatap mereka.

Mina mengangkat satu alisnya, “Hah? Apaan sih?”

Husein menggeleng, “Udah yuk masuk ke mobil.”

Aaron cuman tertawa renyah dengan senyuman miring melekuk di pipinya sempurna...

Oh... jadi gitu ....


“EH?? INI BANG HUSEIN NGAJAK MINA NAIK KAPAL??”

Husein mengangguk mantap, “Iya! Kamu belum pernah kan keliling kota pakai kapal?” “Aku udah booked tiketnya kok, yuk kita langsung masuk!”

Pemuda itu menarik lengannya masuk ke loket lalu setelahnya mereka duduk bersanding menunggu kapalnya beroperasi, degupan jantung Mina mulai berpacu cepat, rasanya aneh ketika harus naik kapal berdua dengan laki-laki, dan laki-laki itu adalah Husein.

“Lihat deh,” Husein menunjuk ke sebuah gedung artistik yang megah nan klasik khas kota Budapest, “Itu Matthias Church, Gereja Katolik Roma yang udah dibangun dari abad ke-10.”

Mina mengangguk oh ria, “Itu kan tempat yang kita datengin kemarin kan?! Fisherman's Bastion?!”

“Hahaha iya betul.”

Senyuman Mina terukir jelas di wajahnya hingga menampilkan lesung pipitnya yang tersembunyi, ia memejam matanya, meresapi angin musim dingin yang segar bersama hangatnya momen kebersamaan bersama orang terkasih. Husein di sampingnya ikut terhenyak dengan momentum ini, kerinduan yang ia tahan selama 12 tahun seketika tumpah hari ini.

“Bang Husein aku mau lihat di luar situ dong!” decak Mina girang.

“Iya boleh, yuk.”

Mina berdiri dari tempatnya di ikuti Husein yang bantu menjaganya dari belakang.

DRRK! BRUK!

Tiba-tiba Mina kehilangan keseimbangannya dan tubuhnya langsung terjatuh tepat di tangan kokoh Husein. Mereka saling menatap sejenak— Mina langsung memalingkan wajahnya dan buru-buru berdiri meskipun langkahnya sedikit tergontai.

“Sini, pegangan,” Husein menawarkan lengannya, “Bukan modus ya, nanti kamu jatuh lagi repot.”

Aduh... jantung gue kok berisik banget sih, kalo Bang Husein denger gimana?!

“Ayo cepet pegangan sini.”

Mina tak ada pilihan selain menuruti kata Husein untuk mengalung tangannya di lengan kekar Husein. Terakhir kali keduanya saling bergandengan lengan itu ketika Mina masih kelas 3 SD dan Husein kelas 5 SD, pada saat mereka menyebrang ke kafe es krim depan sekolahnya lalu memesan es krim coklat couple set.

Keduanya berjalan kikuk menuju pemandangan luar yang di pinta Mina.

“Mina ....”

Mina mendelik, “Hm?”

“Jangan pernah lepas ya?”

“Lepas apa...?”

Husein tersenyum hangat, “Jangan pernah lepas dari aku.”

Satu kalimat yang mampu memporak-porandakan hati Mina yang sudah ia tata setelah patah hati tempo hari itu...

Seperti malam yang cepat bersilih ganti,

Husein memberi harapan lagi yang kedua kalinya.

Mina tidak lengah. Ia melepas tangannya malahan justru ia menjulurkan lidah mengejek pemuda bermata sipit itu.

“Wleek! Bang Husein sekarang jago banget ngalusnya!”

Laki-laki itu tercengang.

“Aku gak akan pergi kemana-mana... selama gak ada yang membawa aku pergi.”

“Ini mobil sering dipake gak?”

“Gak tahu, pinjem temen.”

Ini cewek bener-bener ....

“Mesinnya panas aja ini, coba ada air aki gak di bagasinya? sama ini bannya udah mulai kempes, kita harus cari tempat pompa ban tapi dimana coba ....”

“Nanti kita ke bengkel aja untuk benerin semuanya, yang penting sekarang mesinnya nyala dulu.”

BRRM, BRRMM...!!

Mesin mobilnya sukses di nyalakan, Ibra langsung menyeka keringat di dahinya lega dan langsung mempersilahkan lagi wanita berkemeja putih itu duduk di dalam bangku setir.

“Udah beres nih, jadi mau ke bengkel dulu aja? Servis laptopnya besok juga gapapa,” ujar Ibra setengah ikhlas karena sejujurnya lelaki itu sedang banyak kerjaan di laptopnya tapi terhambat karena rusak.

“Ah tapi kan saya janjinya hari ini ....”

“Gapapa besok aja, saya masih lama disini sekitar seminggu lebih.” “Besok perginya naik taksi aja biar gak ribet, atau ajak asistennya. Saya gak mau buang-buang waktu besok.”

Rose tersenyum cengir, “Asisten saya ... lagi sakit demam, makanya saya berangkat sendiri.”

Duh ini perempuan ceroboh banget sih?!

“Ya-ya sudah, pokoknya senyamannya kamu aja kalo bisa yang cepet karena kerjaan saya banyak di laptop! Kalau mau besok juga gapapa kok.” “Yang penting kamu gak coba-coba kabur aja.”

Gadis pemilik mata bulat hazel itu mengerucut bibirnya, “Saya gak kabur kok ....”

“Ya sudah kalau gitu kamu bawa mobilnya dulu ke bengkel. Saya harus pulang karena di tunggu keluarga.” “Sampai ketemu besok.”

Ibra langsung menelpon satu kontak yang sudah terlintas di kepalanya sejak tadi.

“Halo, Bang Husein?” “Jemput gue sekarang, kita perlu omongin lagi soal tadi lebih lanjut. Nanti gue shareloc.” “Kita harus bicara dengan kepala dingin.”

“Ini mobil sering dipake gak?”

“Gak tahu, pinjem temen.”

Ini cewek bener-bener ....

“Mesinnya panas aja ini, coba ada air aki gak di bagasinya? sama ini bannya udah mulai kempes, kita harus cari tempat pompa ban tapi dimana coba ....”

“Nanti kita ke bengkel aja untuk benerin semuanya, yang penting sekarang mesinnya nyala dulu.”

BRRM, BRRMM...!!

Mesin mobilnya sukses di nyalakan, Ibra langsung menyeka keringat di dahinya lega dan langsung mempersilahkan lagi wanita berkemeja putih itu duduk di dalam bangku setir.

“Udah beres nih, jadi mau ke bengkel dulu aja? Servis laptopnya besok juga gapapa,” ujar Ibra setengah ikhlas karena sejujurnya lelaki itu sedang banyak kerjaan di laptopnya tapi terhambat karena rusak.

“Ah tapi kan saya janjinya hari ini ....”

“Gapapa besok aja, saya masih lama disini sekitar seminggu lebih.” “Perginya naik taksi aja biar gak ribet, atau ajak asistennya.”

Rose tersenyum cengir, “Asisten saya ... lagi sakit demam, makanya saya berangkat sendiri.”

Duh ini perempuan ceroboh banget sih?!

“Ya-ya sudah, pokoknya senyamannya kamu aja kalo bisa yang cepet karena kerjaan saya banyak di laptop! Kalau mau besok juga gapapa kok.” “Yang penting kamu gak coba-coba kabur aja.”

Gadis pemilik mata bulat hazel itu mengerucut bibirnya, “Saya gak kabur kok ....”

“Ya sudah kalau gitu kamu bawa mobilnya dulu ke bengkel. Saya harus pulang karena di tunggu keluarga.” “Sampai ketemu besok.”

Ibra langsung menelpon satu kontak yang sudah terlintas di kepalanya sejak tadi.

“Halo, Bang Husein?” “Jemput gue sekarang, kita perlu omongin lagi soal tadi lebih lanjut. Nanti gue shareloc.” “Kita harus bicara dengan kepala dingin.”

Mata Mina tak mengedip sama sekali dengan sosok pria berjas coklat di hadapannya. Paras tampannya juga senyuman manisnya sukses membius Mina dalam sekejap.

“Aminah? Ah saya juga orang Indonesia, salam kenal ya, saya Aaron, ketua yayasan SunriseKids disini. Mari masuk.”

Pria bernama Aaron itu mempersilahkan Mina masuk ke dalam ruangannya yang eksklusif, semuanya di cat serba putih klasik, membuat Mina takjub dengan tatanan seisi ruangannya yang rapih nan berkelas. Benar-benar menampilkan sekali sosok Aaron yang mempesona.

“Saya sangat suka dengan isi artikel yang kamu tulis di website SunriseKids, bagaimana pola pemikiran kamu tentang pendidikan dan agama yang seimbang, juga pentingnya mengajarkan nasionalisme sejak dini. Kebetulan karena sekolah kami ini International based dan banyak murid Indonesia yang bersekolah disini jadi saya minta kamu untuk mengajar tentang kultur Indonesia dan jiwa nasionalisme.”

Suaranya yang berwibawa seketika menenangkan hati Mina, Masha Allah... pembawaannya adem banget ya ....

“Baik kalau gitu, kita mulai ngajar aja ya dari sekarang?” Aaron berdiri lagi dari tempatnya dan mempersilahkan Mina keluar dari ruangannya terlebih dahulu menuju kelas yang letaknya ada di pojok kanan.

Kedatangan Mina langsung membuat keramaian anak-anak di dalam kelas senyap.

Gyermekek! Üljünk nyugodtan, oké, messze vannak vendégeink, akik megtanítanak valami érdekesre ( Anak-anak! ayo semuanya duduk dengan tenang, oke, kita punya tamu jauh yang akan mengajari kalian sesuatu yang menarik!)” “So please give a big applause for Ms. Aminah from Indonesia!!”

Semua memberi sambutan tepuk tangan yang ramai untuk Mina, gadis itu memasuki ruangan kelas malu. Aaron berdiri di belakang kelas memantau proses pengajaran yang akan berlangsung.

“Ehem...” Mina menarik nafasnya dalam-dalam, “Jó Reggelt, gyerekek .... (Selamat pagi, anak-anak ....)”

Seisi kelas tersenyum usil, “Selamat pagi ibu guruu!!”

Mina shock bukan main, “Eh??? Bisa bahasa Indonesia semua inii??!!”

Aaron tertawa terbahak-bahak di belakang, “Ah, seisi kelas disini semuannya orang Indonesia, Bu Mina...” “Mari di lanjut, Bu Mina.”

Mina mendeham lagi, “O-Oke... sebelumnya perkenalkan nama saya Aminah Haliza Azzahra dari Indonesia, dan senang sekali bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajar disini bersama kalian selama 3 bulan...” “Sebelumnya Ibu mau tanya, kalian udah berapa lama tinggal di Budapest??”

“Saya sejak lahir, Bu!” Salah satu murid berambut coklat terang menyahut.

“Siapa itu??”

“Nama saya Jessica, bu guru!”

“Wah, kalau gitu bagaimana caranya Jessica bisa tetap mempelajari bahasa Indonesia padahal kamu sudah disini sejak lahir??”

“Di rumah, saya di biasakan untuk bicara dengan dua bahasa. saya akan bicara bahasa Indonesia ketika bersama Papa, dan saya akan berbicara bahasa Hungaria ketika bersama Mama. Kami juga tetap merayakan 17 Agustusan di rumah dan menghafal Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia!”

Mina menganga takjub mendengar cerita dari salah satu muridnya itu, “Wah... beri tepuk tangan dong untuk Jessica!!”

PROK!! PROKK!!

“Yang di lakukan orang tua Jessica itu dinamakan penanaman sifat nasionalisme, yaitu sifat mencintai negara sendiri, terutama bagi kita sebagai warga negara Indonesia. Meskipun kita tinggal di negara orang bertahun-tahun bahkan sejak lahir, tapi tetap kita sebagai orang Indonesia sangat penting untuk menanamkan sifat nasionalisme.” “Contohnya seperti yang dilakukan Jessica di rumah, dan cara yang paling gampang yang bisa kalian lakukan adalah .... belajar dengan giat.”

Semuanya saling menoleh heran.

“Iya, kenapa belajar? karena dengan belajar kalian akan menjadi anak yang pintar dan bisa membawa harum nama Indonesia.” “Misalnya nih, Jessica pintar juara matematika terus orang-orang akan bilang 'Wah itu lho, Jessica yang dari Indonesia, hebat ya orang Indonesia' berarti kita sudah mengharumkan nama Indonesia ketika orang takjub dengan prestasi kita dan membawa negara asal kita.”

“Bu guru, kalau bu guru sendiri sudah mengharumkan nama Indonesia?!”

Skakmat. Mina sendiri gak tahu apakah dia sudah mengharumkan nama negaranya sendiri.

“Tentu sudah, Alan!”

Semua menoleh ke arah sumber suara, Aaron berjalan dari belakang menuju tempat Mina.

“Bu Mina ini artikelnya masuk ke website resmi SunriseKids dan di kagumi hampir 1 juta pengunjung yang berasal dari berbagai macam negara. Bu Mina memperkenalkan tentang pendidikan nasionalisme Indonesia lho... Beliau juga penulis buku yang hebat, kalian baca kan buku cerita 'Azalea's Castle and Her Paradise'??”

Mina tersontak, “E-Eh?!”

“Baca dong!!”

“Ceritanya bagus banget!!”

“Kami sangat suka ceritanya!”

Aaron tersenyum, “Kalau gitu berterima kasih lah kepada Bu Mina, karena buku cerita yang kalian nikmati itu ditulis dengan sepenuh hati oleh Bu Mina.”

“WOAAAAHHHHH BU MINA KEREEENNNN!!!”

“BU MINA, BUKUNYA SANGAT BAGUS!! TERIMA KASIH BU MINAA!!”

“TERIMA KASIH BU MINA!!”

Mina tak sadar menjatuhkan air mata harunya, Ya ampun, tak kusangka karyaku akan dicintai banyak orang seperti ini ....

Aaron ikut terhenyak, tak sadar lelaki itu juga tenggelam dalam lamunan panjangnya bersama pesona ayu yang di hadirkan Mina.


“Gimana kesan awal kamu disini?”

“Alhamdulillah, saya sangat senang, jujur aja ini pengalaman yang takkan pernah terlupakan dalam hidup saya. Anak-anaknya sangat baik, mereka bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan sepertinya 3 bulan ke depan... akan jauh lebih menyenangkan dan saya sangat menantikan hari-hari berikutnya.”

Aaron menghempas senyum kecilnya, “Tapi memang jujur ya, saya memang tidak salah mengundang kamu untuk mengajar di sini. Kamu penulis sekaligus pengajar yang hebat. Kamu mudah menarik hati anak-anak dan ajaran kamu juga sangat detail.” “Kalau bisa kamu saya kontrak ngajar aja di sini selamanya, gimana?”

Mina terkekeh, “Waduh, gawat juga, Pak Aaron, nanti saya lupa sama rasa rendang di Indonesia.”

Mereka tertawa bersama.

“Ah ya, kebetulan saya mau makan siang nih, kamu mau ikut? Sekalian kamu lihat-lihat kota Budapest di sini.”

Nafas Mina tercekat begitu ia melangkah— di depannya sudah ada sosok pria yang sangat ia hindari untuk di temui...

Dia adalah Husein.

“Eh, Husein?” sontak Aaron, tentu mereka saling kenal karena keduanya adalah kawan sekampung halaman sejak SMA.

Husein tersenyum pasi, namun sorot matanya terus tertuju ke Mina.

“Ngapain kesini?” desis Mina.

“Jemput kamu, ayo pulang.” jawab Husein sambil menarik tangan Mina.

PATS!! Mina menepis kencang tangan besar Husein.

“Aku mau makan siang sama Pak Aaron, kamu pulang aja sana.”

“Aminah!”

“Pak Aaron, mari kita makan siang. Saya juga mau bicara banyak hal sama Pak Aaron.”

Aaron menjawab kikuk, “A-Ah... oke ....”

Mina mempercepat jalannya meninggalkan Husein jauh di belakangnya, pria jangkung yang jalan berdampingan dengan Mina itu cuman menatap kedua insan— yang saling berseteru itu heran. Raut wajah Mina langsung berubah drastis, gelap dan penuh amarah.

Mina... maafin Bang Husein ....


“Kamu pacarnya Husein?”

OHOK! OHOK! Mina langsung tersedak-sedak dengan makanannya, “E-Enggak, bukan!”

“Oh... soalnya tadi kalian kayak lagi berantem jadi saya pikir kalian ada hubungan.”

Ugh, malu banget harus berantem depan atasan.

“Kebetulan Husein itu junior saya di SMA dan orang tua kami cukup dekat karena sesama orang Indonesia.”

Mina tersenyum kecil, berusaha untuk netral namun hendak menghindari topik pembicaraan tentang Husein. Gadis itu benar-benar ingin sudah selesai dengan lelaki bermata sipit itu, kalau bisa ia ingin bersembunyi di sudut kota Budapest agar bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang Husein lagi, namun kota ini terlalu sempit untuk bersembunyi.

“Um... Mina,” panggil Aaron lagi membuyarkan lamunan Mina, lalu pria bersyal putih itu langsung merogoh sebuah buku dan menyodorkan halaman pertamanya, mata Mina memencak lebar.

“Sebenarnya... saya ini penggemar semua novel kamu, dan buku ini yang paling saya suka.” “Jendela Perempuan, kamu menggambarkan bagaimana perjuangan seorang wanita dalam menentukan pilihannya dan kamu juga memberikan penjabaran secara agama dengan sangat komplit. Kamu adalah wanita yang sangat saya hormati, dan jujur aja, bagi saya... terasa seperti mimpi untuk bisa bertemu dengan idola saya.”

Jantung Mina seketika berdegup kencang.

“A-Ah, wah... ini sebuah kehormatan untuk saya, Pak Aaron...”

“Uhm, boleh kan minta tanda tangan kamu disini?”

“I-Iya boleh kok!”

Gadis itu mulai menggoreskan tanda tangannya dengan kikuk. Mengetahui Aaron sebaga penggemarnya membuat waktu seketika berjalan cepat bersama kupu-kupu yang berterbangan di bawah perutnya.

Secepat ini kesedihan Mina berlalu.

Tapi... bukannya ini anugerah?

“Terima kasih ya, saya akan jaga baik-baik tanda tangannya— ah, maksudnya bukunya juga hehehe ....”

Sudahkah Mina siap membuka lembaran hati yang baru?

“HAH?! LU JANJIIN KAWIN SAMA MINA??!!”

Husein cuman menghentak kepalanya di setir, “Hah... bukan janji kawin sih, tapi ya... kira-kira gitu lah isi suratnya.”

“ITU LU JANJIIN KAWIN NAMANYA, ABDUL, WAH PANTESAN KAKAK GUE GALAU 12 TAHUN!! SINI GAK LU, GUA CEKEK LU AMPE MATI SEKALIAN SINI!!”

“A-Aw aw! Iya gua tahu, gua emang salah! cuman...”

“Cuman apa?! Udah tahu takdir tuh gak bisa di tebak kedepannya dan lo dulu sok-sokan mau janjiin kawin?!”

“Bra... gua beneran sayang sama kakak lu ....”

“YA TERUS APA??!!”

Husein mengusap lagi wajahnya gusar, “Argh, gua gak bisa bilang ini sama lu!!”

“Apaan sih?! Minta di pukul lu asli!”

“Ah sumpah gua belum siap!!”

“Apaan?!”

“Bra, lu tahu soal bokap gue kan?!”

“Tahu.”

“Bokap kandung lho.”

“TAU!!”

“Ada satu fakta dari bokap gue yang buat gue memutuskan mundur untuk perjuangin Mina.”

“Apa anjir?”

Husein menghempas nafasnya, “Tahun 2029 dulu .... gue pernah di datengin sama bokap kandung gue dan gue di bawa ke kafe es krim dekat SD kita dulu.”

“Terus?”

“Disitu bokap gue bilang, sebagaimana kerasnya gue menolak darah yang mengalir dari dia ke gue, tetap aja fakta bahwa gue adalah anak kandungnya itu gak bisa di tepis.” “Seorang ular tetap melahirkan anak ular, berarti seorang penjahat juga tetap melahirkan penjahat...”

Ibra menyergah, “Astaga, Bang Husein—”

“Gue belum selesai.”

Ibra ikut menghela nafasnya frustasi.

“Awalnya memang gue tetap ngeyakinin diri gue kalau gue gak akan sama dengan bokap gue, gue berada di lingkungan yang baik, teman-teman yang baik, saudara yang baik ....” “tapi ....”

Husein menekan kelopak matanya menahan air mata yang hendak keluar.

“Ada satu perbuatan yang tak termaafkan dari bokap gue ke keluarga lo, Bra ....”

Jantung Ibra juga ikut berdetak gusar, “Apa?”

“Lo tahu .... kalau Om Haidar pernah di penjara?”

DHEG!! Waktu seakan berhenti berdetak, Ibra seolah mengetahui sebuah tabir yang tersimpan rapat-rapat, ah tidak ....

Dulu dia terlalu kecil untuk mengetahui fakta pahit itu.

“Di penjara...?”

“Tahun 2029, bokap lo di penjara karena kasus pengedaran obat ilegal.”

“Gak mungkin, Bang, dulu emang abi sempet ngilang cuman—”

“Emang gak mungkin ....” “... karena itu ulah bokap kandung gue.”

DRRKK!! BRAKK!! Ibra keluar dari mobil dengan sangat murka, rahang bawahnya saling menghentak kesal dan seluruh aliran darah yang mengalir seolah mendidih sampai ke otaknya.

“Ibra! Ibra! Dengerin dulu—”

“Diem disitu sebelum gue benar-benar ngehajar lo!!”

Ibra menunjuk lurus wajah Husein dengan amarah yang tak terbendung.

“Emang paling benar lo ngejauh dari kakak gue karena gue gak nyangka ternyata LO SAMPAH NGERTI GAK?!” “Denger ya, mau lo anak pembunuh kelas kakap sekalipun selama kita memang berteman baik, gue gak pernah mandang lo sebelah mata, tapi ... lain cerita kalau udah berani nyentuh keluarga gue!” “Lo mau tahu? Dulu waktu abi mendadak hilang, gue sama Mina jadi bulan-bulanan wartawan dan teman-teman satu sekolah!! Mereka bilang bokap gue munafik, culas, bahkan dibilang perusak nama agama, kita berdua yang gak tahu apa-apa cuman di kasih tahu kalau abi gue lagi jihad! Masalahnya jihad jenis apa??!! tiap malam umi nangis-nangis dan kita gak bisa apa-apa, kakek gue hampir kena serangan jantung, hidup kita semua berantakan lagi itu, Bang!!” “Sampai akhirnya abi pulang pun, kehidupan kita masih gak lepas sama pandangan miring orang-orang diluar...” Ibra mulai tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

“Dengar ya, Husein, seumur hidup gue ... gue gak akan pernah bisa memaafkan kelakuan biadab bokap lo, CATET!!!”

Lelaki itu menghentakkan kakinya lagi meninggalkan Husein yang mematung di tempatnya. Tak sadar satu bulir air matanya jatuh dan cepat pemuda bermata sipit itu mengusap air matanya gusar.

“Gue tahu pada akhirnya kayak gini ... itulah kenapa gue harus tahu diri, Bra, makanya gak kebayang kalau kakak lo tahu soal ini ....” “Ya Allah ... kuatkan hati hamba-Mu ini ....”

Si semprul emang gak pernah bisa ngertiin keadaan...

Husein semakin mengerucut bibirnya ketika Ibra masuk ke dalam mobilnya dan duduk di sampingnya dengan senyuman cengir tanpa dosa.

“Sialan lu bang, ternyata lu diem-diem mau ngajak kakak gua ngedate berdua ya? Kagak bakalan dah gua kasih!” ujar Ibra sembrono membuat Husein refleks memukul lengan pemuda di sampingnya keras-keras.

“Ah sakit!”

“Bego! Jaga mulut lu!”

Mina di belakang menyahut, “Hah? Kalian ngomongin apa sih?”

“Ah enggak, gapapa, kita berangkat sekarang ya!” Husein menepik, dia cepat menancap gas mobilnya berkeliling kota Budapest menikmati malam yang dingin dipenuhi lampu-lampu redup yang mengitari sekitar jalan.

Mina terhenyak dengan suasana sunyi malam yang ada di sekitar jalan, pantulan danau yang terlihat dari balik jendela seketika menghangatkan dadanya dengan keindahan yang diberikan kota malam Budapest.

Ya Allah... memanglah Engkau sang Maha Pencipta Yang Sempurna dengan keindahan semua ciptaan-Mu... bahkan hanya dengan melihatnya, dapat membuatku terkajub-kajub ....

“Bang Husein disini shalat maghribnya agak telat ya?” — Mina

“Iya, nanti sekalian kalau udah azan kita ke masjid ya.” — Husein

“Masjid disini gimana dah, Bang Husein?” — Ibra

“Ya... sebenarnya gak megah banget sih bentuk masjidnya, tapi bagus kok. Kalau ada acara besar kayak hari raya atau buka puasa banyak yang datang ke masjid pusat di sini. Di sini ada Komunitas Islam Eropa juga lho dan banyak pelajar Indonesia yang gabung di komunitas jadi dari situ kita bisa dapet saudara sekampung dan seiman hahaha ....” “Waktu awal pindah kesini kita sekeluarga sempat kesusahan beradaptasi kayak nyesuain waktu shalat, terus cari makanan halal. Disini harus hati-hati kalau mau makan di restoran karena mayoritas masih pakai minyak babi, kalau mau sekalian cari restoran halal. Nanti gue tunjukin beberapa restoran halal disini.” “Mina kalau misalnya nanti mulai tinggal disini hubungin aku aja ya kalau mau makan diluar.”

Mina mengangguk, “I-Iya ....”

Di balas Ibra mencibir, “Hmph, modus.”


“Nih kopi,” Husein menyuguhkan satu gelas kertas kopi hangat untuk Mina di tengah angin dingin yang merajalela. Mina menyesap kopi susunya perlahan.

“Hm, manisnya pas!”

Husein terkekeh, “Syukurlah, berarti kebiasaan kamu masih belum berubah.”

Mina menoleh cepat.

“Inget gak? Dulu kita bertiga iseng nyobain kopi di kafe dekat sekolah? terus karena kamu gak kuat sama kopi, kamu pesan kopi susu terus ternyata rasanya masih pahit.”

Gadis itu mulai menunduk kepalanya.

“Akhirnya kamu tambahin dua sachet gula ke dalam kopinya, baru deh kamu bilang enak, hahahaha ....” “Dari kecil sampai sekarang kamu tetap Mina adik kecilnya Bang Husein ya.”

Mina menarik nafasnya.

“Bang Husein.”

“Ya?” Husein menyeruput kopi hitamnya.

“Masih ingat... janji kita 12 tahun yang lalu?”

GLEK! OHOK! OHOK!!

“E-Eh kok malah keselek sih?! Ini tisu, Bang Husein!”

“OHOK! OHOK! Aduh kopinya masih panas banget!”

“Masa sih?! Tadi kopi aku enggak kok!”

Husein berbohong.

Setelah lelaki itu meneguk setengah botol air mineral yang dibawanya, ia mulai mengatur tempo nafasnya untuk menjawab pertanyaan menohok dari Mina.

“Hah... Mina,” ucap Husein bergetar.

“Ya?”

“Dulu... kita masih sangat kecil, sekarang kita masing-masing sudah dewasa ....”

“Jadi?”

“Sudah banyak yang berubah, Mina.”

DHEG! Jantung Mina seketika berhenti berdetak.

“Maaf ....” satu kalimat itu yang keluar dari bibir Husein.

“Kenapa Bang Husein minta maaf?”

Husein membisu lagi. Kedua netra cantik Mina mulai berkaca-kaca, ia menahan rasa sakit yang merujam dadanya bahkan kini air matanya mulai jatuh membasahi pipinya.

“Apakah... perasaan Bang Husein ke Mina... juga berubah?” gadis itu kembali bertanya dengan suaranya yang bergetar.

Lagi-lagi Husein mengucapkan kalimat yang sama.

“Maaf, Mina...”

Kenyataan memang sungguh pahit.

“Kita mulai hubungan kita dari awal ya?”

SET! Mina langsung berdiri dari tempatnya dan berjalan tanpa arah membawa kakinya menjauh dari sosok lelaki yang baru saja mematahkan hatinya, setelah penantian 12 tahun bersama air mata...

Kini harus berakhir lagi dengan air mata...

“Mina! Aminah! kamu mau kemana?!” Husein menarik tangan Mina, namun di tepis oleh gadisnya yang sedang menahan air matanya sekuat tenaga.

“Aku mau pulang,” jawab Mina dengan singkat.

“Ya sudah aku anterin ya, bahaya kalau kamu jalan sendirian malem-malem gini!”

“Gak usah, Mina bisa sendiri.”

“Mina, jangan gini, aku minta maaf buat semuanya! maaf kalau aku ngecewain kamu!”

Mina mendorong tubuh Husein kuat-kuat, “Kalau memang mau pergi seharusnya Bang Husein gak perlu ninggalin jejak dengan janji palsu! Memangnya kamu pikir anak kelas 1 SMP gak bisa mikir, hah?! Sebodoh itukah aku sampai Bang Husein berani kasih aku janji terus pergi begitu saja lalu sekarang?! Sekarang Bang Husein bilang kalau waktu itu kita masih kecil!!” “Bang Husein tahu gimana terpuruknya aku ketika kamu pergi?! Bagaimana hampanya aku ketika gak ada kamu di sisi aku?! Hah, bodoh banget aku ngarepin kamu selama 12 tahun!!”

“Mina, maaf... maaf untuk semuanya, banyak hal yang menjadi pertimbangan aku ....”

“Bohong! Dasar kamu pembohong!! Emangnya aku gak tahu kamu punya pacar disini?! Bang Husein tahu, ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku disini, yang aku lihat di Buda Castle malahan kamu dengan seorang wanita!!” “Kalian bergandengan mesra dan aku masih mau positive thinking kalau itu bukan kamu, dan begitu kamu bilang kamu abis dari Buda Castle ketika kita makan siang kemarin di rumah kamu, ternyata benar memang itu kamu tapi kamu bilang ke kita semua kalau wanita itu adalah TEMAN KAMU!!!” “Aku gak percaya, mana ada teman semesra itu, dan memang... Bang Husein yang aku kenal dulu sudah gak ada. Jadi udah gak ada gunanya aku ngarepin Bang Husein lagi.”

Husein masih tak menyerah, dia menahan lagi lengan mungil Mina sekuat tenaga.

“Aw! Sakit! Lepas!”

“Mina, aku berani bersumpah kalau wanita itu bukan pacar aku! Aku harus ketemu dia karena suatu hal yang sangat penting, dan ini semua untuk memperbaiki semua yang udah berantakan—”

“Apa?! Apa maksud Bang Husein berantakan?!”

“MASA LALU AKU, AMINAH!!”

Mata Mina terbelelak begitu Husein berteriak.

“Kamu... Kamu lupa kalau aku ini anak pembunuh? aku ini... anak dari seorang penjahat ....”

“Bang Husein!”

“A-Aku... Aku harus—”

“Udah gua bilang jangan bikin kakak gua nangis lagi kan, anjing?”

Kedua insan yang saling berseteru itu langsung tercekat dan menoleh kaget ke arah Ibra yang sudah menatap Husein dengan tatapan membunuh.

BRUK!! Ibra mendorong jauh tubuh Husein hingga tubuhnya terjatuh.

“Lu masih belum puas bikin kakak gua nangis?” kecam Ibra lagi.

“Ibrahim!” Mina menjerit.

“Gua peringatin sama lu, sekali lagi lu buat kakak gue pulang dalam keadaan galau seperti yang lu lakukan ke dia selama 12 tahun ini, gua gak akan segan datang lagi kesini buat gebukin lu, NGERTI?!” “Ayo kak, kita pulang naik taksi aja. Lu ikut gua ke hotel!”

Ibra menarik paksa tangan kakaknya ke arah entah kemana meninggalkan Husein yang tersungkur disana.

Mina... kalau kamu tahu, aku... aku takut kamu gak akan bisa maafin aku ....

Meanwhile Ibra sebelumnya, ketika Mina dan Husein berada di percakapan panjang...

“Ah elah, tau gitu gue gak ikut aja sekalian ujung-ujungnya gue jadi nyamuk! Lagian di hotel juga gue jadi nyamuk!” “Masa gue ngajak Desra jalan-jalan? kek pasangan homo jadinya.”

Ibra berhenti di sebuah tempat hotdog yang ada di pinggiran, aroma lezat yang mencuat tentu membuat perutnya keruyukan.

“Wanginya enak nih,” Ibra langsung melangkah mendekati tukang hotdog dengan wajah polosnya, “Excuse me, 1 hotdog please”

“Oh you're tourist?”

“Yeah.”

“Okay, this is special for you!”

Asik banget nih dapet hotdog spesial, emang dah Allah tuh selalu baik sama hamba-Nya yang teraniaya.

PSSSHH...

Ibra memejam matanya meresapi aroma sedap dari daging hotdog yang di panggang dadakan tepat di depan matanya itu.

“Here you go,” akhirnya hotdog yang di tunggu-tunggu sudah tersaji.

“How much?”

“500 Forint.”

Ibra memberi uangnya sebesar 510 Forint (Dia masih ingat dengan pesannya Husein) lalu dengan cepat Ibra melahap hotdognya ....

“Rasa dagingnya aneh, kok rada manis-manis gitu...”

Pemuda itu tersadar sesuatu.

“Oh... shit!! PHUAH! PHUAH!!”

Ibra menoleh lagi ke arah tempat hotdog yang tak ia sadari bahwa logonya itu bergambar hewan babi yang mengacung jempol.

A legjobb sertéshússal!

Ibra mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera penerjemah.

Dengan daging babi terbaik

“Astagfirullah hal adzim... Ibra, lu bego banget sumpah ....”

Belum lagi ada pemandangan tak enak dari kedua insan yang sangat ia kenal di hadapannya...

“YA ALLAH DOSA APA GUE HARI INIII????!!!” “Salah banget emang takdir nemuin mereka berdua lagi!!”

Si semprul emang gak pernah bisa ngertiin keadaan...

Husein semakin mengerucut bibirnya ketika Ibra masuk ke dalam mobilnya dan duduk di sampingnya dengan senyuman cengir tanpa dosa.

“Sialan lu bang, ternyata lu diem-diem mau ngajak kakak gua ngedate berdua ya? Kagak bakalan dah gua kasih!” ujar Ibra sembrono membuat Husein refleks memukul lengan pemuda di sampingnya keras-keras.

“Ah sakit!”

“Bego! Jaga mulut lu!”

Mina di belakang menyahut, “Hah? Kalian ngomongin apa sih?”

“Ah enggak, gapapa, kita berangkat sekarang ya!” Husein menepik, dia cepat menancap gas mobilnya berkeliling kota Budapest menikmati malam yang dingin dipenuhi lampu-lampu redup yang mengitari sekitar jalan.

Mina terhenyak dengan suasana sunyi malam yang ada di sekitar jalan, pantulan danau yang terlihat dari balik jendela seketika menghangatkan dadanya dengan keindahan yang diberikan kota malam Budapest.

Ya Allah... memanglah Engkau sang Maha Pencipta Yang Sempurna dengan keindahan semua ciptaan-Mu... bahkan hanya dengan melihatnya, dapat membuatku terkajub-kajub ....

“Bang Husein disini shalat maghribnya agak telat ya?” — Mina

“Iya, nanti sekalian kalau udah azan kita ke masjid ya.” — Husein

“Masjid disini gimana dah, Bang Husein?” — Ibra

“Ya... sebenarnya gak megah banget sih bentuk masjidnya, tapi bagus kok. Kalau ada acara besar kayak hari raya atau buka puasa banyak yang datang ke masjid pusat di sini. Di sini ada Komunitas Islam Eropa juga lho dan banyak pelajar Indonesia yang gabung di komunitas jadi dari situ kita bisa dapet saudara sekampung dan seiman hahaha ....” “Waktu awal pindah kesini kita sekeluarga sempat kesusahan beradaptasi kayak nyesuain waktu shalat, terus cari makanan halal. Disini harus hati-hati kalau mau makan di restoran karena mayoritas masih pakai minyak babi, kalau mau sekalian cari restoran halal. Nanti gue tunjukin beberapa restoran halal disini.” “Mina kalau misalnya nanti mulai tinggal disini hubungin aku aja ya kalau mau makan diluar.”

Mina mengangguk, “I-Iya ....”

Di balas Ibra mencibir, “Hmph, modus.”


“Nih kopi,” Husein menyuguhkan satu gelas kertas kopi hangat untuk Mina di tengah angin dingin yang merajalela. Mina menyesap kopi susunya perlahan.

“Hm, manisnya pas!”

Husein terkekeh, “Syukurlah, berarti kebiasaan kamu masih belum berubah.”

Mina menoleh cepat.

“Inget gak? Dulu kita bertiga iseng nyobain kopi di kafe dekat sekolah? terus karena kamu gak kuat sama kopi, kamu pesan kopi susu terus ternyata rasanya masih pahit.”

Gadis itu mulai menunduk kepalanya.

“Akhirnya kamu tambahin dua sachet gula ke dalam kopinya, baru deh kamu bilang enak, hahahaha ....” “Dari kecil sampai sekarang kamu tetap Mina adik kecilnya Bang Husein ya.”

Mina menarik nafasnya.

“Bang Husein.”

“Ya?” Husein menyeruput kopi hitamnya.

“Masih ingat... janji kita 12 tahun yang lalu?”

GLEK! OHOK! OHOK!!

“E-Eh kok malah keselek sih?! Ini tisu, Bang Husein!”

“OHOK! OHOK! Aduh kopinya masih panas banget!”

“Masa sih?! Tadi kopi aku enggak kok!”

Husein berbohong.

Setelah lelaki itu meneguk setengah botol air mineral yang dibawanya, ia mulai mengatur tempo nafasnya untuk menjawab pertanyaan menohok dari Mina.

“Hah... Mina,” ucap Husein bergetar.

“Ya?”

“Dulu... kita masih sangat kecil, sekarang kita masing-masing sudah dewasa ....”

“Jadi?”

“Sudah banyak yang berubah, Mina.”

DHEG! Jantung Mina seketika berhenti berdetak.

“Maaf ....” satu kalimat itu yang keluar dari bibir Husein.

“Kenapa Bang Husein minta maaf?”

Husein membisu lagi. Kedua netra cantik Mina mulai berkaca-kaca, ia menahan rasa sakit yang merujam dadanya bahkan kini air matanya mulai jatuh membasahi pipinya.

“Apakah... perasaan Bang Husein ke Mina... juga berubah?” gadis itu kembali bertanya dengan suaranya yang bergetar.

Lagi-lagi Husein mengucapkan kalimat yang sama.

“Maaf, Mina...”

Kenyataan memang sungguh pahit.

“Kita mulai hubungan kita dari awal ya?”

SET! Mina langsung berdiri dari tempatnya dan berjalan tanpa arah membawa kakinya menjauh dari sosok lelaki yang baru saja mematahkan hatinya, setelah penantian 12 tahun bersama air mata...

Kini harus berakhir lagi dengan air mata...

“Mina! Aminah! kamu mau kemana?!” Husein menarik tangan Mina, namun di tepis oleh gadisnya yang sedang menahan air matanya sekuat tenaga.

“Aku mau pulang,” jawab Mina dengan singkat.

“Ya sudah aku anterin ya, bahaya kalau kamu jalan sendirian malem-malem gini!”

“Gak usah, Mina bisa sendiri.”

“Mina, jangan gini, aku minta maaf buat semuanya! maaf kalau aku ngecewain kamu!”

Mina mendorong tubuh Husein kuat-kuat, “Kalau memang mau pergi seharusnya Bang Husein gak perlu ninggalin jejak dengan janji palsu! Memangnya kamu pikir anak kelas 1 SMP gak bisa mikir, hah?! Sebodoh itukah aku sampai Bang Husein berani kasih aku janji terus pergi begitu saja lalu sekarang?! Sekarang Bang Husein bilang kalau waktu itu kita masih kecil!!” “Bang Husein tahu gimana terpuruknya aku ketika kamu pergi?! Bagaimana hampanya aku ketika gak ada kamu di sisi aku?! Hah, bodoh banget aku ngarepin kamu selama 12 tahun!!”

“Mina, maaf... maaf untuk semuanya, banyak hal yang menjadi pertimbangan aku ....”

“Bohong! Dasar kamu pembohong!! Emangnya aku gak tahu kamu punya pacar disini?! Bang Husein tahu, ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku disini, yang aku lihat di Buda Castle malahan kamu dengan seorang wanita!!” “Kalian bergandengan mesra dan aku masih mau positive thinking kalau itu bukan kamu, dan begitu kamu bilang kamu abis dari Buda Castle ketika kita makan siang kemarin di rumah kamu, ternyata benar memang itu kamu tapi kamu bilang ke kita semua kalau wanita itu adalah TEMAN KAMU!!!” “Aku gak percaya, mana ada teman semesra itu, dan memang... Bang Husein yang aku kenal dulu sudah gak ada. Jadi udah gak ada gunanya aku ngarepin Bang Husein lagi.”

Husein masih tak menyerah, dia menahan lagi lengan mungil Mina sekuat tenaga.

“Aw! Sakit! Lepas!”

“Mina, aku berani bersumpah kalau wanita itu bukan pacar aku! Aku harus ketemu dia karena suatu hal yang sangat penting, dan ini semua untuk memperbaiki semua yang udah berantakan—”

“Apa?! Apa maksud Bang Husein berantakan?!”

“MASA LALU AKU, AMINAH!!”

Mata Mina terbelelak begitu Husein berteriak.

“Kamu... Kamu lupa kalau aku ini anak pembunuh? aku ini... anak dari seorang penjahat ....”

“Bang Husein!”

“A-Aku... Aku harus—”

“Udah gua bilang jangan bikin kakak gua nangis lagi kan, anjing?”

Kedua insan yang saling berseteru itu langsung tercekat dan menoleh kaget ke arah Ibra yang sudah menatap Husein dengan tatapan membunuh.

BRUK!! Ibra mendorong jauh tubuh Husein hingga tubuhnya terjatuh.

“Lu masih belum puas bikin kakak gua nangis?” kecam Ibra lagi.

“Ibrahim!” Mina menjerit.

“Gua peringatin sama lu, sekali lagi lu buat kakak gue galau seperti yang lu lakukan ke dia selama 12 tahun ini, gua gak akan segan datang lagi kesini buat gebukin lu, NGERTI?!” “Ayo kak, kita pulang naik taksi aja. Lu ikut gua ke hotel!”

Ibra menarik paksa tangan kakaknya ke arah entah kemana meninggalkan Husein yang tersungkur disana.

Mina... kalau kamu tahu, aku... aku takut kamu gak akan bisa maafin aku ....

Meanwhile Ibra sebelumnya, ketika Mina dan Husein berada di percakapan panjang...

“Ah elah, tau gitu gue gak ikut aja sekalian ujung-ujungnya gue jadi nyamuk! Lagian di hotel juga gue jadi nyamuk!” “Masa gue ngajak Desra jalan-jalan? kek pasangan homo jadinya.”

Ibra berhenti di sebuah tempat hotdog yang ada di pinggiran, aroma lezat yang mencuat tentu membuat perutnya keruyukan.

“Wanginya enak nih,” Ibra langsung melangkah mendekati tukang hotdog dengan wajah polosnya, “Excuse me, 1 hotdog please”

“Oh you're tourist?”

“Yeah.”

“Okay, this is special for you!”

Asik banget nih dapet hotdog spesial, emang dah Allah tuh selalu baik sama hamba-Nya yang teraniaya.

PSSSHH...

Ibra memejam matanya meresapi aroma sedap dari daging hotdog yang di panggang dadakan tepat di depan matanya itu.

“Here you go,” akhirnya hotdog yang di tunggu-tunggu sudah tersaji.

“How much?”

“500 Forint.”

Ibra memberi uangnya sebesar 510 Forint (Dia masih ingat dengan pesannya Husein) lalu dengan cepat Ibra melahap hotdognya ....

“Rasa dagingnya aneh, kok rada manis-manis gitu...”

Pemuda itu tersadar sesuatu.

“Oh... shit!! PHUAH! PHUAH!!”

Ibra menoleh lagi ke arah tempat hotdog yang tak ia sadari bahwa logonya itu bergambar hewan babi yang mengacung jempol.

A legjobb sertéshússal!

Ibra mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera penerjemah.

Dengan daging babi terbaik

“Astagfirullah hal adzim... Ibra, lu bego banget sumpah ....”

Belum lagi ada pemandangan tak enak dari kedua insan yang sangat ia kenal di hadapannya...

“YA ALLAH DOSA APA GUE HARI INIII????!!!” “Salah banget emang takdir nemuin mereka berdua lagi!!”

Si semprul emang gak pernah bisa ngertiin keadaan...

Husein semakin mengerucut bibirnya ketika Ibra masuk ke dalam mobilnya dan duduk di sampingnya dengan senyuman cengir tanpa dosa.

“Sialan lu bang, ternyata lu diem-diem mau ngajak kakak gua ngedate berdua ya? Kagak bakalan dah gua kasih!” ujar Ibra sembrono membuat Husein refleks memukul lengan pemuda di sampingnya keras-keras.

“Ah sakit!”

“Bego! Jaga mulut lu!”

Mina di belakang menyahut, “Hah? Kalian ngomongin apa sih?”

“Ah enggak, gapapa, kita berangkat sekarang ya!” Husein menepik, dia cepat menancap gas mobilnya berkeliling kota Budapest menikmati malam yang dingin yang dipenuhi lampu-lampu redup yang mengitari sekitar jalan.

Mina terhenyak dengan suasana sunyi malam yang ada di sekitar jalan, pantulan danau yang terlihat dari balik jendela seketika menghangatkan dadanya dengan keindahan yang diberikan kota malam Budapest.

Ya Allah... memanglah Engkau sang Maha Pencipta Yang Sempurna dengan keindahan semua ciptaan-Mu... bahkan hanya dengan melihatnya, dapat membuatku terkajub-kajub ....

“Bang Husein disini shalat maghribnya agak telat ya?” — Mina

“Iya, nanti sekalian kalau udah azan kita ke masjid ya.” — Husein

“Masjid disini gimana dah, Bang Husein?” — Ibra

“Ya... sebenarnya gak megah banget sih bentuk masjidnya, tapi bagus kok. Kalau ada acara besar kayak hari raya atau buka puasa banyak yang datang ke masjid pusat sini. Disini ada Komunitas Islam Eropa juga lho dan disitu banyak pelajar Indonesia yang gabung jadi dari situ kita dapet saudara sekampung hahaha ....” “Waktu awal pindah kesini kita sekeluarga sempat kesusahan beradaptasi kayak nyesuain waktu shalat, terus juga cari makanan halal. Disini harus hati-hati kalau mau makan di restoran karena mayoritas masih pakai minyak babi, kalau mau sekalian cari restoran halal. Nanti gue tunjukin beberapa restoran halal disini.” “Mina kalau misalnya nanti mulai tinggal disini hubungin aku aja ya kalau mau makan diluar.”

Mina mengangguk, “I-Iya ....”

Di balas Ibra mencibir, “Hmph, modus.”


“Nih kopi,” Husein menyuguhkan satu gelas kertas kopi hangat untuk Mina di tengah angin dingin yang merajalela. Mina menyesap kopi susunya.

“Hm, manisnya pas!”

Husein terkekeh, “Syukurlah, berarti kebiasaan kamu masih belum berubah.”

Mina menoleh cepat.

“Inget gak? Dulu kita bertiga iseng nyobain kopi di kafe dekat sekolah? terus karena kamu gak kuat sama kopi, kamu pesan kopi susu terus ternyata rasanya masih pahit.”

Gadis itu mulai menunduk kepalanya.

“Akhirnya kamu tambahin dua sachet gula ke dalam kopinya, baru deh kamu bilang enak, hahahaha ....” “Dari kecil sampai sekarang kamu tetap Mina adik kecilnya Bang Husein ya.”

Mina terdiam.

“Bang Husein.”

“Ya?” Husein menyeruput kopi hitamnya.

“Masih ingat... janji kita 12 tahun yang lalu?”

GLEK! OHOK! OHOK!!

“E-Eh kok malah keselek sih?! Ini tisu, Bang Husein!”

“OHOK! OHOK! Aduh kopinya masih panas banget!”

“Masa sih?! Tadi kopi aku enggak kok!”

Husein berbohong.

Setelah lelaki itu meneguk setengah botol air mineral yang dibawanya, ia mulai mengatur tempo nafasnya untuk menjawab pertanyaan menohok dari Mina.

“Hah... Mina,” ucap Husein bergetar.

“Ya?”

“Dulu... kita masih sangat kecil, sekarang kita masing-masing sudah dewasa ....”

“Jadi?”

“Sudah banyak yang berubah, Mina.”

DHEG! Jantung Mina seketika berhenti berdetak.

“Maaf ....” satu kalimat itu yang keluar dari bibir Husein.

“Kenapa Bang Husein minta maaf?”

Husein membisu lagi. Kedua netra cantik Mina seketika mulai berkaca-kaca, ia menahan rasa sakit yang merujam dadanya saat ini bahkan kini air matanya mulai jatuh membasahi pipinya.

“Apakah... perasaan Bang Husein ke Mina... juga berubah?” gadis itu kembali bertanya dengan suaranya yang bergetar.

Lagi-lagi Husein mengucapkan kalimat yang sama.

“Maaf, Mina...”

Kenyataan memang sungguh pahit.

“Kita mulai hubungan kita dari awal ya?”

SET! Mina langsung berdiri dari tempatnya dan berjalan tanpa arah membawa kakinya menjauh dari sosok lelaki yang baru saja mematahkan hatinya, setelah penantian 12 tahun bersama air mata...

Kini harus berakhir lagi dengan air mata...

“Mina! Aminah kamu mau kemana?!” Husein menarik tangan Mina, namun di tepis oleh gadisnya yang sedang menahan air matanya sekuat tenaga.

“Aku mau pulang,” jawab Mina dengan singkat.

“Ya sudah aku anterin ya, bahaya kalau kamu jalan sendirian malem-malem gini!”

“Gak usah, Mina bisa sendiri.”

“Mina, jangan gini, aku minta maaf buat semuanya! maaf kalau aku ngecewain kamu!”

Mina mendorong tubuh Husein kuat-kuat, “Kalau memang mau pergi seharusnya Bang Husein gak perlu ninggalin jejak dengan janji palsu! Memangnya kamu pikir anak kelas 1 SMP gak bisa mikir, hah?! Sebodoh itu Bang Husein kasih aku janji terus pergi begitu saja dan sekarang?! Sekarang Bang Husein bilang kalau waktu itu kita masih kecil!!” “Bang Husein tahu gimana terpuruknya aku ketika kamu pergi?! Bagaimana hampanya aku ketika gak ada kamu di sisi aku?! Hah, bodoh banget aku ngarepin kamu selama 12 tahun!!”

“Mina, maaf... maaf untuk semuanya, banyak hal yang menjadi pertimbangan aku ....”

“Bohong! Dasar kamu pembohong!! Emangnya aku gak tahu kamu punya pacar disini?! Bang Husein tahu, ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku disini, yang aku lihat di Buda Castle adalah kamu dengan seorang wanita!!” “Kalian bergandengan mesra dan aku masih mau positive thinking kalau itu bukan kamu, dan begitu kamu bilang kamu abis dari Buda Castle ketika kita makan siang kemarin di rumah kamu, ternyata benar memang itu kamu tapi kamu bilang ke kita semua kalau wanita itu adalah TEMAN KAMU!!!” “Aku gak percaya, mana ada teman semesra itu, dan memang... Bang Husein yang aku kenal dulu sudah gak ada. Jadi udah gak ada gunanya aku ngarepin Bang Husein lagi.”

Husein masih tak menyerah, dia menahan lagi lengan mungil Mina sekuat tenaga.

“Aw! Sakit! Lepas!”

“Mina, aku berani bersumpah kalau wanita itu bukan pacar aku! Aku harus ketemu dia karena suatu hal yang sangat penting, dan ini semua untuk memperbaiki semua yang udah berantakan—”

“Apa?! Apa maksud Bang Husein berantakan?!”

“MASA LALU AKU, AMINAH!!”

Mata Mina terbelelak begitu Husein berteriak.

“Kamu... Kamu lupa kalau aku ini anak pembunuh? aku ini... anak dari seorang penjahat ....”

“Bang Husein!”

“A-Aku... Aku harus—”

“Udah gua bilang jangan bikin kakak gua nangis lagi kan, anjing?”

Kedua insan yang saling berseteru itu langsung tercekat dan menoleh kaget ke arah Ibra yang sudah menatap Husein dengan tatapan membunuh.

BRUK!! Ibra mendorong jauh tubuh Husein hingga tubuhnya terjatuh.

“Lu masih belum puas bikin kakak gua nangis?” kecam Ibra lagi.

“Ibrahim!” Mina menjerit.

“Gua peringatin sama lu, begitu kakak gua balik ke Indonesia dalam keadaan galau seperti yang lu lakukan ke dia selama 12 tahun ini, gua gak akan segan datang lagi kesini buat gebukin lu, NGERTI?!” “Ayo kak, kita pulang naik taksi aja. Lu ikut gua ke hotel!”

Ibra menarik paksa tangan kakaknya ke arah entah kemana meninggalkan Husein yang tersungkur disana.

Mina... aku... takut kamu gak akan maafin aku...

Meanwhile Ibra sebelumnya, ketika Mina dan Husein berada di percakapan panjang...

“Ah elah, tau gitu gue gak ikut aja sekalian ujung-ujungnya gue jadi nyamuk! Lagian di hotel juga gue jadi nyamuk!” “Masa gue ngajak Desra jalan-jalan? kek pasangan homo jadinya.”

Ibra berhenti di sebuah tempat hotdog yang ada di pinggiran, aroma lezat yang mencuat tentu membuat perutnya keruyukan.

“Wanginya enak nih,” Ibra langsung melangkah mendekati tukang hotdog dengan wajah polosnya, “Excuse me, 1 hotdog please”

“Oh you're tourist?”

“Yeah.”

“Okay, this is special for you!”

Asik banget nih dapet hotdog spesial, emang dah Allah tuh selalu baik sama hamba-Nya yang teraniaya.

PSSSHH...

Ibra memejam matanya meresapi aroma sedap dari daging hotdog yang di panggang dadakan tepat di depan matanya itu.

“Here,” akhirnya hotdog yang di tunggu-tunggu sudah tersaji.

“How much?”

“500 Forint.”

Ibra memberi uangnya sebesar 510 Forint (Dia masih ingat dengan pesannya Husein) lalu dengan cepat Ibra melahap hotdognya ....

“Rasa dagingnya aneh, kok rada manis-manis gitu...”

Pemuda itu tersadar sesuatu.

“Oh... shit!! PHUAH! PHUAH!!”

Ibra menoleh lagi ke arah tempat hotdog yang tak ia sadari bahwa logonya itu bergambar hewan babi yang mengacung jempol.

A legjobb sertéshússal!

Ibra mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera penerjemah.

Dengan daging babi terbaik

“Astagfirullah hal adzim... Ibra, lu bego banget sumpah ....”

Belum lagi ada pemandangan tak enak dari kedua insan yang sangat ia kenal di hadapannya...

“YA ALLAH DOSA APA GUE HARI INIII????!!!”