Mata Mina tak mengedip sama sekali dengan sosok pria berjas coklat di hadapannya. Paras tampannya juga senyuman manisnya sukses membius Mina dalam sekejap.
“Aminah? Ah saya juga orang Indonesia, salam kenal ya, saya Aaron, ketua yayasan SunriseKids disini. Mari masuk.”
Pria bernama Aaron itu mempersilahkan Mina masuk ke dalam ruangannya yang eksklusif, semuanya di cat serba putih klasik, membuat Mina takjub dengan tatanan seisi ruangannya yang rapih nan berkelas. Benar-benar menampilkan sekali sosok Aaron yang mempesona.
“Saya sangat suka dengan isi artikel yang kamu tulis di website SunriseKids, bagaimana pola pemikiran kamu tentang pendidikan dan agama yang seimbang, juga pentingnya mengajarkan nasionalisme sejak dini. Kebetulan karena sekolah kami ini International based dan banyak murid Indonesia yang bersekolah disini jadi saya minta kamu untuk mengajar tentang kultur Indonesia dan jiwa nasionalisme.”
Suaranya yang berwibawa seketika menenangkan hati Mina, Masha Allah... pembawaannya adem banget ya ....
“Baik kalau gitu, kita mulai ngajar aja ya dari sekarang?” Aaron berdiri lagi dari tempatnya dan mempersilahkan Mina keluar dari ruangannya terlebih dahulu menuju kelas yang letaknya ada di pojok kanan.
Kedatangan Mina langsung membuat keramaian anak-anak di dalam kelas senyap.
“Gyermekek! Üljünk nyugodtan, oké, messze vannak vendégeink, akik megtanítanak valami érdekesre ( Anak-anak! ayo semuanya duduk dengan tenang, oke, kita punya tamu jauh yang akan mengajari kalian sesuatu yang menarik!)”
“So please give a big applause for Ms. Aminah from Indonesia!!”
Semua memberi sambutan tepuk tangan yang ramai untuk Mina, gadis itu memasuki ruangan kelas malu. Aaron berdiri di belakang kelas memantau proses pengajaran yang akan berlangsung.
“Ehem...” Mina menarik nafasnya dalam-dalam, “Jó Reggelt, gyerekek .... (Selamat pagi, anak-anak ....)”
Seisi kelas tersenyum usil, “Selamat pagi ibu guruu!!”
Mina shock bukan main, “Eh??? Bisa bahasa Indonesia semua inii??!!”
Aaron tertawa terbahak-bahak di belakang, “Ah, seisi kelas disini semuannya orang Indonesia, Bu Mina...”
“Mari di lanjut, Bu Mina.”
Mina mendeham lagi, “O-Oke... sebelumnya perkenalkan nama saya Aminah Haliza Azzahra dari Indonesia, dan senang sekali bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajar disini bersama kalian selama 3 bulan...”
“Sebelumnya Ibu mau tanya, kalian udah berapa lama tinggal di Budapest??”
“Saya sejak lahir, Bu!” Salah satu murid berambut coklat terang menyahut.
“Siapa itu??”
“Nama saya Jessica, bu guru!”
“Wah, kalau gitu bagaimana caranya Jessica bisa tetap mempelajari bahasa Indonesia padahal kamu sudah disini sejak lahir??”
“Di rumah, saya di biasakan untuk bicara dengan dua bahasa. saya akan bicara bahasa Indonesia ketika bersama Papa, dan saya akan berbicara bahasa Hungaria ketika bersama Mama. Kami juga tetap merayakan 17 Agustusan di rumah dan menghafal Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia!”
Mina menganga takjub mendengar cerita dari salah satu muridnya itu, “Wah... beri tepuk tangan dong untuk Jessica!!”
PROK!! PROKK!!
“Yang di lakukan orang tua Jessica itu dinamakan penanaman sifat nasionalisme, yaitu sifat mencintai negara sendiri, terutama bagi kita sebagai warga negara Indonesia. Meskipun kita tinggal di negara orang bertahun-tahun bahkan sejak lahir, tapi tetap kita sebagai orang Indonesia sangat penting untuk menanamkan sifat nasionalisme.”
“Contohnya seperti yang dilakukan Jessica di rumah, dan cara yang paling gampang yang bisa kalian lakukan adalah .... belajar dengan giat.”
Semuanya saling menoleh heran.
“Iya, kenapa belajar? karena dengan belajar kalian akan menjadi anak yang pintar dan bisa membawa harum nama Indonesia.”
“Misalnya nih, Jessica pintar juara matematika terus orang-orang akan bilang 'Wah itu lho, Jessica yang dari Indonesia, hebat ya orang Indonesia' berarti kita sudah mengharumkan nama Indonesia ketika orang takjub dengan prestasi kita dan membawa negara asal kita.”
“Bu guru, kalau bu guru sendiri sudah mengharumkan nama Indonesia?!”
Skakmat. Mina sendiri gak tahu apakah dia sudah mengharumkan nama negaranya sendiri.
“Tentu sudah, Alan!”
Semua menoleh ke arah sumber suara, Aaron berjalan dari belakang menuju tempat Mina.
“Bu Mina ini artikelnya masuk ke website resmi SunriseKids dan di kagumi hampir 1 juta pengunjung yang berasal dari berbagai macam negara. Bu Mina memperkenalkan tentang pendidikan nasionalisme Indonesia lho... Beliau juga penulis buku yang hebat, kalian baca kan buku cerita 'Azalea's Castle and Her Paradise'??”
Mina tersontak, “E-Eh?!”
“Baca dong!!”
“Ceritanya bagus banget!!”
“Kami sangat suka ceritanya!”
Aaron tersenyum, “Kalau gitu berterima kasih lah kepada Bu Mina, karena buku cerita yang kalian nikmati itu ditulis dengan sepenuh hati oleh Bu Mina.”
“WOAAAAHHHHH BU MINA KEREEENNNN!!!”
“BU MINA, BUKUNYA SANGAT BAGUS!! TERIMA KASIH BU MINAA!!”
“TERIMA KASIH BU MINA!!”
Mina tak sadar menjatuhkan air mata harunya, Ya ampun, tak kusangka karyaku akan dicintai banyak orang seperti ini ....
Aaron ikut terhenyak, tak sadar lelaki itu juga tenggelam dalam lamunan panjangnya bersama pesona ayu yang di hadirkan Mina.
“Gimana kesan awal kamu disini?”
“Alhamdulillah, saya sangat senang, jujur aja ini pengalaman yang takkan pernah terlupakan dalam hidup saya. Anak-anaknya sangat baik, mereka bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan sepertinya 3 bulan ke depan... akan jauh lebih menyenangkan dan saya sangat menantikan hari-hari berikutnya.”
Aaron menghempas senyum kecilnya, “Tapi memang jujur ya, saya memang tidak salah mengundang kamu untuk mengajar di sini. Kamu penulis sekaligus pengajar yang hebat. Kamu mudah menarik hati anak-anak dan ajaran kamu juga sangat detail.”
“Kalau bisa kamu saya kontrak ngajar aja di sini selamanya, gimana?”
Mina terkekeh, “Waduh, gawat juga, Pak Aaron, nanti saya lupa sama rasa rendang di Indonesia.”
Mereka tertawa bersama.
“Ah ya, kebetulan saya mau makan siang nih, kamu mau ikut? Sekalian kamu lihat-lihat kota Budapest di sini.”
Nafas Mina tercekat begitu ia melangkah— di depannya sudah ada sosok pria yang sangat ia hindari untuk di temui...
Dia adalah Husein.
“Eh, Husein?” sontak Aaron, tentu mereka saling kenal karena keduanya adalah kawan sekampung halaman sejak SMA.
Husein tersenyum pasi, namun sorot matanya terus tertuju ke Mina.
“Ngapain kesini?” desis Mina.
“Jemput kamu, ayo pulang.” jawab Husein sambil menarik tangan Mina.
PATS!! Mina menepis kencang tangan besar Husein.
“Aku mau makan siang sama Pak Aaron, kamu pulang aja sana.”
“Aminah!”
“Pak Aaron, mari kita makan siang. Saya juga mau bicara banyak hal sama Pak Aaron.”
Aaron menjawab kikuk, “A-Ah... oke ....”
Mina mempercepat jalannya meninggalkan Husein jauh di belakangnya, pria jangkung yang jalan berdampingan dengan Mina itu cuman menatap kedua insan— yang saling berseteru itu heran. Raut wajah Mina langsung berubah drastis, gelap dan penuh amarah.
Mina... maafin Bang Husein ....
“Kamu pacarnya Husein?”
OHOK! OHOK! Mina langsung tersedak-sedak dengan makanannya, “E-Enggak, bukan!”
“Oh... soalnya tadi kalian kayak lagi berantem jadi saya pikir kalian ada hubungan.”
Ugh, malu banget harus berantem depan atasan.
“Kebetulan Husein itu junior saya di SMA dan orang tua kami cukup dekat karena sesama orang Indonesia.”
Mina tersenyum kecil, berusaha untuk netral namun hendak menghindari topik pembicaraan tentang Husein. Gadis itu benar-benar ingin sudah selesai dengan lelaki bermata sipit itu, kalau bisa ia ingin bersembunyi di sudut kota Budapest agar bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang Husein lagi, namun kota ini terlalu sempit untuk bersembunyi.
“Um... Mina,” panggil Aaron lagi membuyarkan lamunan Mina, lalu pria bersyal putih itu langsung merogoh sebuah buku dan menyodorkan halaman pertamanya, mata Mina memencak lebar.
“Sebenarnya... saya ini penggemar semua novel kamu, dan buku ini yang paling saya suka.”
“Jendela Perempuan, kamu menggambarkan bagaimana perjuangan seorang wanita dalam menentukan pilihannya dan kamu juga memberikan penjabaran secara agama dengan sangat komplit. Kamu adalah wanita yang sangat saya hormati, dan jujur aja, bagi saya... terasa seperti mimpi untuk bisa bertemu dengan idola saya.”
Jantung Mina seketika berdegup kencang.
“A-Ah, wah... ini sebuah kehormatan untuk saya, Pak Aaron...”
“Uhm, boleh kan minta tanda tangan kamu disini?”
“I-Iya boleh kok!”
Gadis itu mulai menggoreskan tanda tangannya dengan kikuk. Mengetahui Aaron sebaga penggemarnya membuat waktu seketika berjalan cepat bersama kupu-kupu yang berterbangan di bawah perutnya.
Secepat ini kesedihan Mina berlalu.
Tapi... bukannya ini anugerah?
“Terima kasih ya, saya akan jaga baik-baik tanda tangannya— ah, maksudnya bukunya juga hehehe ....”
Sudahkah Mina siap membuka lembaran hati yang baru?