Budapest

Keluarga Haidar sudah sampai di tempat Mina akan tinggal selama di Budapest. Apartemen yang ditinggali Mina cukup eksklusif dengan ruangan tamu, dapur, kamar tidur dan kamar mandi dalam satu tempat.

“Boleh juga sponsor lu, kak,” celetuk Ibra sambil membanting tubuhnya di atas ranjang empuk yang terpasang sprei putih dengan rapih.

“Wah hotelnya cukup jauh juga ya dari sini, kamu gapapa sendirian? gak mau tidur dulu di hotel selama kita disini?” ujar Haidar khawatir dengan putrinya itu.

Mina menggeleng, “Besok aku udah harus ke sekolahnya, kalau jauh-jauh takut kesiangan hehe... lagipula aku juga harus cepat beradaptasi disini, Bi,” tutur gadis itu.

Haidar cuman menghela nafasnya kasar, “Ya sudah kalau gitu, ini 10 menit lagi kita di jemput sama Om Adit jadi kamu rapihin dulu aja barang-barang kamu disini.”

Anela langsung sigap mengambil beberapa tumpukan baju putrinya, “Sini, umi bantu rapihin.”

Tatapan Mina masih kosong, mengingat punggung sosok pria yang sangat ia kenali bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya mesra. Jantungnya berdegup tak menentu, rasa penasaran di campur dengan sesak yang kembali merujam dadanya.

Masa iya, seorang Bang Husein melanggar janjinya?

“Kak, ini baju kamu ....” Ucapan Anela terhenti begitu ia menangkap Mina diam terpaku dengan mata kosongnya, “Aminah?”

“E-Eh, iya, umi! Ini baju Mina kenapa?”

Anela meletakkan lagi bajunya, “Nak, kamu cari udara gih sama Ibra. Biar umi yang rapihin semuanya.”

“Eh gapapa, umi, masa umi yang rapihin sendiri sih?!”

“Gapapa, kamu kayaknya lagi banyak pikiran. Ibra...! Kalian berdua cari udara gih keluar, jalan-jalan aja sekitar apartemen biar kakakmu ini kenal sama tempat tinggalnya!” pinta Anela yang langsung di jawab dengan ucapan 'siap' oleh putra jagoannya itu.

“Ayo, kak, kita jalan keluar!” tanpa ba-bi-bu lagi Ibra menarik tangan Mina keluar kamar.


“Jangan lama-lama kita disini, sebentar lagi Om Adit jemput kita buat makan siang disana.”

Ibra tak menggubris, dia sibuk mengemut esnya dan meremas bungkusannya sekuat tenaga.

“Lo tuh nyari apa sih disini?”

Mina mengernyit, “Hah?”

“Lo masih ngarepin Bang Husein ya?”

Ucapan Ibra menyentak jantung Mina. Laki-laki itu melempar sampahnya ke dalam tong sampah lalu melangkah mendekati kakaknya dengan tatapan tajam.

“Lo gak siap ya ketemu Bang Husein?”

“Apaan sih, Ibra, gak ada angin, gak ada apa kok kamu introgasi aku kayak gini?!”

“Kentara banget muka lo lagi mikirin sesuatu, dan gue kembaran lo,” Ibra menyandar punggungnya ke tembok bata yang dingin menepis lelah, “Ampe sekarang dada gue sakit, pasti sekarang lo lagi mikirin Bang Husein kan?”

Kalau Ibra tahu apa yang aku lihat tadi... pasti dia bakalan murka banget ....

“Pilih ya, kak.”

“Apa?”

“Pilih, gue gebukin Bang Husein sampai koma atau mati sekalian?”

Mina terkesiap, “Heh! Ibrahim!!”

“Songong lo, Bra! yang ada gue yang gebukin lo sampai mati!!”

Kedua netra Mina langsung menoleh ke arah sumber suara yang menghadirkan sosok pria bertubuh tegap 177 cm dengan balutan sweater biru muda dan jaket putih, senyuman cengirnya yang menampilkan bulan sabit khas di matanya...

Husein.

“Kalau mau adu otot ayo sini, kebetulan gue baru selesai nge-gym nih! Hahahaa!”

Senyuman sumringah Ibra langsung terlukis di wajahnya dan kedua sahabat itu saling berpelukan erat melepas rindu setelah 12 tahun tak bersua.

“WUIH GILA BANG HUSEIN!!”

“Hahahaha! What's up, brother?! wah, pantesan lo pede ngajakin gue berantem makin keras otot lu, Bra! Hahahahaha!!”

Perhatian Husein langsung teralihkan ke arah Mina yang berdiri mematung menatapnya kaget, pemuda itu langsung berjalan lagi menghampiri gadis yang dulu pernah sangat ia cintai...

“Mina... apa kabar?” ucap Husein pelan.

“Baik. Bang Husein gimana?” balas Mina kikuk.

“Baik juga, aku dengar kamu bakalan tinggal disini ya selama 3 bulan?”

Mina mengangguk pelan, “I-Iya...”

Husein merentang kedua tangannya, “Welcome to Budapest

Rasa rindu bercampur sesak mendominasi dada Mina saat ini. Beribu-ribu pertanyaan yang muncul bergantian di kepalanya membuat gadis itu sulit untuk mengungkapkan bagaimana ia sangat merindukan sosok laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.

Bayangkan, Mina menahan rindu selama 12 tahun.

Dan pahitnya...

Bayangan punggung lelaki yang persis dengan outfit look yang di gunakan Husein sekarang, bersama seorang wanita— yang ia temui di jalan barusan kembali merujam dadanya.

“Lu datang sendiri?” tanya Ibra.

“Enggak, sama Ayah cuman dia tadi langsung nyamperin Om Haidar di atas.” “Kalian langsung ikut gue ke mobil aja, paling bentar lagi mereka juga turun.”

Husein kembali menatap inci wajah Mina lekat, “Mina.”

“Eh, i-iya?”

Pemuda itu tersenyum, “Ah enggak... kamu ....”

Mina meneguk ludahnya bulat-bulat.

“Kamu memang selalu cantik ya.”

Ibra mendecak kesal, “Wah baru ketemu sempat-sempatnya lo ngemodus sama kakak gue? Beneran ngajak berantem lo, Bang?”

“Lah lo baru naik pangkat jadi pawangnya Mina apa gimana?”

“Sialan lo, udah bikin kakak gue galau 12 tahun sempat-sempatnya ketemu langsung ngegombal.”

Husein terkekeh, “Gue gak gombal, emang itu fakta.”

Pipi Mina semakin memerah padam bak kepiting rebus.

“Udah yuk, kita langsung ke mobil aja.”

Bang Husein... apa cuman perasaanku aja kamu sedikit berubah?