Farewell Dinner

Mina datang dengan raut pasinya ke depan rumah yang sangat ingin ia palingkan dari tujuannya. Tangannya mau tak mau memencet bel rumah, ia menarik nafasnya dan berusaha untuk tidak merusak suasana dengan senyuman palsu yang terlukis di wajah cantiknya.

Tapi seketika memudar setelah kedatangannya di sambut oleh laki-laki bersweater putih turtle neck yang tak lain, Husein.

“Lho, gak bareng sama yang lain?” tanya Husein kaget.

Mina menerobos masuk dan mencium tangan Angel, “Lho abi umi mana, sayang?” tentu Angel bertanya, cowok di ambang pintu itu cuman bisa mengelus dada. Yang namanya di kacangin itu sakit brou.

“Mina datang langsung dari apartemen, di kira udah pada dateng, hehe ....”

“Oh gitu, yaudah kalau gitu kamu duduk dulu sini, Tante bikin susu coklat hangat nih soalnya cuaca udah makin dingin.”

Angel menyuguhkan dua cangkir coklat hangat di atas mejanya, “Husein, ini di minum coklatnya.”

Mina langsung memalingkan wajahnya, Husein menderu nafasnya panjang dan meminum cepat minumannya. Pemuda itu sengaja mengambil tempat duduk di samping Mina meskipun tak saling memandang, gadis berhijab itu juga tak menganggap kehadiran Husein. Pemuda itu menatap nanar lekuk tangan mungil Mina yang mengepal di atas meja. Memorinya langsung berputar ketika Mina menggandeng lengan kokohnya di kapal beberapa hari yang lalu.

“Mina, habis ini... bisa kita bicara?” cuman itu yang bisa keluar dari bibir Husein.

Mina tak menjawab sekali lagi.

“Mina, jangan cuekin aku kayak gini—”

“Assalamualaikum!!”

Sahutan tenor khas Haidar mengejutkan keduanya, dan begitupun sang pria paruh baya yang ada di ambang pintu— karena mendapati Husein dan Mina tengah duduk bersanding.

Husein seolah tahu arti dari tatapan tajam Haidar, dia langsung berdiri dari tempatnya dan menjauh dari meja makan. Angel langsung menyambut kehadiran Haidar sekeluarga, mempersilahkan mereka duduk terlebih dahulu di meja makan. Ibra juga ikut curiga dengan tingkah Husein, Et dah nih orang habis ngapain lagi sama kakak gue?

“Adit mana?” tanya Haidar.

“Lagi keluar sebentar, paling bentar lagi datang kok. Ini di minum aja coklat hangatnya.” “Gak nyangka ya ternyata kalian lusa udah pulang aja, padahal masih banyak tempat yang belum kita kunjungi sama-sama ....”

Anela menyergah, “Ah enggak kok, seminggu disini ternyata cukup juga. Nanti kapan-kapan lagi mau main kesini, siapa tahu kan selama Mina disini dia butuh kita jadi mau gak mau harus kesini, hahaha ....”

Angel langsung berjalan mendekati Mina dan merangkul bahu mungilnya, “Mina kalo ada apa-apa disini hubungin aja Tante Angel, kalau bisa sih selama disini panggilnya jangan Tante Angel.” “Panggilnya Anya.”

Mina mendelik, “Anya artinya apa?”

Husein menimpal, “Bunda artinya.”

Angel tersenyum lebar, matanya teralihkan ke arah Haidar yang tak bisa melepas pandangannya dari Husein. Memang ayah si kembar ini betul-betul mengantisipasi sosok Husein yang perlahan mulai memasuki kehidupan Mina lagi setelah 12 tahun.

“Husein,” panggil Haidar dengan lugas.

“I-Iya, om...?” jawab Husein gemetar.

“Ikut saya keluar sebentar, saya mau beli sesuatu.”

“Oh iya, Om.”

Husein mengikuti langkah Haidar dari belakang dengan gemuruh detak jantung yang tak menentu. Bagaimana tidak? Ini merupakan detik-detik dia akan di sidak oleh ayah Mina (mungkin karena tadi keciduk sedang duduk berdua). Asal bukan dijadikan ulenan dodol atau di geprek dadakan, Husein siap menghadapi sidak ini dengan kepala dingin.

Tentunya dengan bismillah.

Ibra menyenggol lengan kakaknya, “Husein siap-siap di sidak tuh sama Abi.”

Mina jadi ikut waswas.


“Om, ayah saya lagi beli minuman juga di luar—”

“Gapapa, saya tahu minuman kesukaan ayah kamu.” “Kamu mau kopi juga?”

Husein membukam mulutnya.

“Ya sudah kalau gitu beli tiga aja. Excuse me, 3 americano please.

Di balas OK oleh sang penjual, Haidar mengajak Husein untuk duduk di hadapannya dan mereka sama-sama memandang langit yang mulai mengguyurkan hujan salju dengan deras.

“Salju memang indah, sayangnya bikin masuk angin,” ucapan simpel Haidar di balas ketawa kecil Husein.

Waktu kecil dulu, Husein juga pernah di bimbing oleh Haidar secara langsung bersama dengan kedua anaknya. Husein kecil sangat mengagumi sosok Haidar yang tegas dan juga berwawasan luas, dulu Haidar pernah berpesan dengan Husein.

“Laki-laki itu langkahnya harus panjang, kamu harus bisa pergi kemanapun untuk mencari ilmu dan pengalaman.” “Tuntutlah ilmu sebanyak dan setinggi mungkin, Husein...”

Husein kecil balik bertanya, “Kenapa sih kita harus tuntut ilmu terus, Om? Sedangkan kita kalo beli permen kan harus pakai duit.”

Haidar tertawa, “Husein, dengar ya nak. Saya yakin kamu akan tumbuh sebagai seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang, dan itu semua bisa kamu wujudkan ketika kamu menuntut ilmu sebanyak dan setinggi mungkin.” “Karena ketika kamu miskin pun, ilmu itu yang akan menjadi hartamu dan ketika kamu kaya, ilmu itu akan menjadi perhiasanmu, Husein.”

Kutipan itu di ambil dari seorang tokoh islam yang dikenal dengan nasihat-nasihatnya kepada anak-anaknya, yakni Luqman al-Hakim. Namanya disebutkan di Al-Qur'an pada surat Luqman (31) ayat 12-19.

Mata Husein berbinar-binar melihat bagaimana bersinarnya wajah Haidar ketika ia tersenyum hangat, mengelus kepalanya lembut dan menyampaikan nasihat yang selalu ia catat bahkan hingga kini.

Maka itu ia tak pernah kehilangan respectnya dengan sosok Haidar El Fatih.

“Kamu suka sama Mina?” pertanyaan menohok Haidar mengejutkan Husein.

“A-Ah, itu ....”

“Sepulang dari sini, saya ada rencana mau taarufkan Mina dengan seseorang.”

DHEG!! Seperti petir yang menyambar dadanya. Husein mulai merasakan nyeri yang luar biasa.

“Usianya sudah bukan lagi main-main soal hubungan. Saya tak mau anak gadis saya ini ada di ambang jurang mendekati zina.” “Sebenarnya saya berat melepas Mina sendirian di negeri orang, tapi ini adalah impiannya. Mina sangat ingin bisa merasakan kehidupan luar negeri, saya gak bisa apa-apa.” “Belum lagi kamu disini, saya bukannya suudzon tapi nyatanya kamu sering kan curi-curi kesempatan untuk dekat sama anak saya?”

Skakmat sudah. Husein tertangkap basah melalui insting tajam seorang ayah milik Haidar.

“Saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, kamu suka sama Mina?”

“Saya sangat mencintai Mina, Om.”

Mata Haidar terbelelak.

“Sampai detik ini, tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi Mina dalam hati saya. Mina adalah cinta pertama saya.”

“Kalau gitu, kamu siap segera menikahi anak saya dan menjaga Mina seumur hidup kamu?”

Husein menunduk, “Tapi om ....”

“Kenapa harus pakai kata 'tapi'?”

“Saya malu.”

Haidar mendecih, “Malu?”

“Saya malu dengan masa lalu saya.”

Sekali lagi, pria paruh baya berparas eksotis itu memencak kedua matanya.

“Saya ini... lahir dari seorang ayah penjahat, pembunuh, penipu... di sandingkan dengan sosok Mina yang seperti malaikat dari keluarga yang malaikat pula.” “Dan yang semakin membuat saya malu adalah, sebuah fakta bahwa ayah kandung saya adalah orang yang menyebabkan Om Haidar di fitnah bahkan di masukkan ke penjara ....” tak sadar Husein meneteskan satu air matanya.

Haidar terkesiap, “Kamu... tahu darimana soal itu?”

“Lambat laun semua akan mengetahui fakta itu, Om, Ibra sendiri sudah tahu dan Mina mungkin... akan segera mengetahuinya cepat atau lambat ....” “Saya tahu bagaimana menderitanya kalian pada saat itu karena ulah ayah kandung saya, makanya saya... merasa tak pantas untuk bersanding dengan Mina.”

Haidar menghela nafas panjangnya.

“Kamu merasa malu karena tingkah ayahmu?”

“Iya, om....”

“Teruslah merasa malu bahkan sampai jijik, Husein.”

Husein tersontak.

“Karena dengan itu, kamu tidak akan pernah mencontoh perbuatan buruk ayahmu. Bagaimanapun dulu itu kita semua korban, bundamu juga korban. Saya masih ingat betul bagaimana bundamu itu menderita karena perbuatan almarhum ayahmu.” “Tapi itu semua sudah berlalu, dan masa lalu itu gak ada sangkut pautnya sama kamu.”

Begitu kopi pesanan sudah datang di depan mata, Haidar memutuskan untuk duduk lebih lama lagi untuk berbincang.

“Saya tahu gimana perasaan kamu ketika mengetahui fakta pahit itu, tapi saya sebagai korban ayahmu secara langsung... sudah memaafkan dan mengikhlaskan semua perbuatannya dengan saya.” “Sampai di detik ayahmu menghembuskan nafas terakhirnya, saya dengan Adit sempat menjenguknya di Korea.”

Husein mendongak kaget.

“Kami memutuskan untuk mengubur masa-masa itu karena itu hanya memicu trauma berkepanjangan yang mengotori hati dengan perasaan dendam. Angel juga sudah mulai mengikhlaskan semua kesalahan ayahmu, karena ayahmu juga sebenarnya kesulitan, Husein.” “Jovian itu anak yang tumbuh di lingkungan yang salah. Padahal dia itu sangat cerdas, belum lagi dia juga punya masa lalu yang buruk, perasaan dendam dengan keluarga besarnya yang membuang dia menjadi anak sebatang kara. Banyak faktor yang akhirnya membuat ayahmu menjadi seorang penjahat. Ketika ia harus menembus kejahatannya pun, ia lebih memilih menyakiti dirinya sampai meninggal.” “Kamu bisa bayangkan betapa beratnya tekanan ayahmu?”

Dada Husein semakin sesak.

“Itulah kenapa saya tidak lagi marah ataupun menuntut apa yang sudah dia perbuat sama saya, karena dia sendiri juga gak kalah menderita. Meskipun saya tak menerima kalimat maafnya secara langsung tapi sudah cukup saya maafkan.” “Sekarang giliran kamu, Husein, maafkan semua masa lalu ayahmu, karena bagaimanapun juga dia adalah ayah kandung kamu. Kamu gak bisa menolak nasab, dan haram hukumnya kalau kamu tidak mengakui nasab.” “Kamu lahir dan tumbuh di lingkungan baik bahkan kamu sendiri merasa jijik dengan perbuatan jahat ayahmu, berarti itu sudah cukup menjadi jaminan bahwa kamu tidak sama dengan Jovian.”

Haidar membuka ponselnya, “Nomor kamu masih sama?”

“Ya-yang nomor Indonesia masih aktif kok.”

DRRT!! Haidar mengirimkan suatu file ke Husein, “Buka selagi kamu siap. Itu surat terakhir yang di tulis Jovian sebelum meninggal.” “Soal Mina, kamu harus pertimbangkan lagi karena itu tidak menyangkut masa lalu kamu, tapi masa depan kamu dengan anak saya.” “Saya tunggu kamu di Indonesia.”

Pria itu tersenyum jumawa sambil menyodorkan tangannya, Husein dengan senang hati membalas jabatan tangannya dengan khas gaya jantan seolah mereka sudah membuat kesepakatan.

Sedikit demi sedikit kekuatan Husein semakin terkumpul.


Akhirnya mereka makan malam bersama saling bercengkrama dengan hangat. Bertukar canda tawa sampai tak terasa jarum jam menunjukkan angka pukul setengah 9.

Detik dimana Keluarga Haidar melangkah keluar dari rumah kediaman Adit.

It really became a farewell dinner.