A példaképem

“Mina gak ikut?” tanya Haidar heran.

Anela gelagapan, “A-Ah dia mau istirahat sendiri dulu, Mas, banyak kerjaan kasihan....” jawab wanita itu berbohong.

Haidar tentu tak sadar dengan apa yang barusan terjadi di rumah Angel, karena dirinya itu sedang menikmati kopi pagi bersama Adit dan putranya di kafe terdekat seraya menunggu para wanita belajar memasak. Sekarang ketiganya sedang menikmati terpaan angin musim dingin yang mulai di guyur hujan salju. Haidar dan Anela saling berpegangan memberi kehangatan, sedangkan Ibra celingukan mencari seseorang.

Dia dimana sih, katanya mau ketemu.

Tuk, tuk.

Ibra terkejut dengan colekan kecil di bahunya dari belakang, menghadirkan seorang gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum cengir namun tetap cantik dengan polesan make-up tipisnya— Rose. Ibra terpaku sejenak, lalu Haidar dan Anela ikut menoleh ke arah gadis yang barusan mendekati putranya.

“Abi, umi, ini... yang saya bilang kemarin, penggemarnya abi.” ujar Ibra memperkenalkan gadis di sampingnya.

“Halo, Pak Haidar, suatu kehormatan untuk bisa bertemu dengan anda! Ah juga Ibu... saya ini penggemar beratnya Pak Haidar, saya benar-benar kagum dengan semua pemikiran Pak Haidar terutama strategi bisnis yang di padukan dengan syariat bagi saya itu sangat membantu bisnis kita untuk bisa berkembang dengan cara yang bersih dan terbukti dengan bisnis butik yang saya jalani sekarang, syukurlah semuanya lancar!”

Haidar mengangguk-angguk, “Terima kasih, kalau boleh tau nama nona siapa?”

“Nama saya Roseanne Blanché, boleh panggil Rose aja. Saya pernah ikut seminar anda di kampus dulu dan dari situ saya mulai kagum dengan anda!”

Anela ikut tersenyum, “Terima kasih ya, semoga bisnis kamu lancar terus...”

“Aamiin, terima kasih bu untuk doanya!” “Um... Pak Haidar, boleh minta tanda tangan gak sama foto bareng?”

“Ah iya boleh.”

Rose loncat kegirangan, dia segera menyerahkan bukunya lalu di tanda tangani Haidar, tak lupa mereka juga selfie bersama (tentu bersama Anela karena kalau tidak, ya tahu sendiri Anela itu super pencemburu...)

Pria paruh baya itu kembali membuka suara, “Ibra, ini umi mau naik kapal katanya keliling kota kamu mau ikut?”

Bukannya menjawab cepat, pemuda itu bergeming lama lalu memandang gadis di sampingnya yang masih berbinar-binar matanya setelah bertemu sang idola panutan.

“Ah, saya agak mabuk kalau naik kapal, Bi.”

Haidar mencibir bibirnya ngejek, “Alasan kamu, ya sudah tunggu ya atau jalan-jalan aja biar gak suntuk.”

Ibra mengangguk kepalanya, lalu ia berbalik badan meninggalkan Rose di belakang. Gadis itu mengerucut bibirnya kesal.

“Um permisi tuan, apakah sopan ya kalau seorang pria jalan duluan meninggalkan wanitanya di belakang?” cicir Rose.

Ibra mengernyit, “Emang saya mau jalan sama kamu?”

Buset... tajem bener mulutnya.

“Kalau saya mau jalan-jalan sama kamu, situ keberatan?”

“Nggak juga, ayo cari tempat yang lebih hangat.”

Sumpah... gue gak bisa tebak isi pikiran nih cowok ....


Akhirnya kedua insan itu duduk di bawah sinar mentari yang menyinarinya langsung menanti kehangatan bersama segelas kopi susu panas yang di beli Ibra.

“Makasih, nanti saya ganti uangnya.”

“Gak perlu, ini gak seberapa sama biaya servis laptop saya.”

“Lho, kalo itu kan memang saya ganti rugi.”

“Tetap aja kebaikan harus di balas kebaikan.”

Rose memanggut kepalanya. Mereka kembali diam bersama canggung yang memenuhi suasana keduanya, angin dingin semakin meradang tulang rusuk, Ibra memiliki kelemahan terkait cuaca dingin sejak kecil, kalau musim hujan sedang berlangsung panjang, dia akan langsung bersin-bersin akibat alergi.

Dan parahnya kelemahan itu harus tampak di hadapan Rose.

“Kamu alergi dingin ya?” tanya Rose dengan tangannya yang refleks membuka syal berbahan wol tebal di lehernya, lalu gadis itu melilit syalnya di leher Ibra dengan lembut. Mata sang pemuda langsung memencak lebar, desir aliran darahnya memompa jantungnya hingga berpacu cepat.

Sejak kapan Rose jadi terlihat memesona di matanya?

“Udah hangat?”

“U-Udah, makasih ....”

Rose terkekeh, “Saya punya adik, dan dia juga alergi dingin kayak kamu jadi saya selalu kasih dia syal di lehernya atau jaket tebal agar dia tetap merasa hangat.” “Perlu saya belikan kopi lagi?”

“Gak usah, gak usah! udah cukup kok, makasih ya.”

Mereka kembali terdiam, lalu Ibra mulai memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

“Saya boleh nanya sesuatu sama kamu?” tanya Ibra dengan suara puraunya.

“Tanya apa?”

“Lagi itu... di chat kamu bilang complicated itu ...”

Rose menjawab oh ria, “Oh, itu...”

“Ah maaf kalau itu pertanyaan yang sensitif untuk kamu, kalau gak nyaman gapapa—”

“Saya lahir sebagai muslim, Mas Ibrahim.”

Mata Ibra terbelelak.

“Saya lahir sebagai seorang muslim, tapi ada suatu insiden dimana keluarga saya termasuk orang tua saya menjadi korban bencana alam pada saat saya berusia 3 tahun.” “Saya tinggal sebatang kara di sebuah penampungan, sampai akhirnya ada keluarga baik yang mengambil saya dan mengasuh saya...” “Tapi ternyata saya di besarkan oleh keluarga pendeta, dan saya harus mengubah kepercayaan saya.”

Rose menghadap lagi wajah Ibra dengan lurus, “Kenapa saya bilang complicated? karena kalau boleh jujur, hati saya belum yakin dengan keyakinan saya, jadi saya memutuskan untuk tidak memeluk agama apapun.” “Saya beli banyak buku filsafat agama termasuk bukunya Pak Haidar, dan sejauh ini yang mampu menyentuh hati saya itu adalah buku yang ditulis Pak Haidar, makanya saya bisa ngefans banget sama beliau....”

Ibra masih membeku dengan cerita yang di sampaikan Rose.

“Saya ini kehilangan arah, Mas Ibrahim, saya gak tahu harus berpegang pada siapa dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri tapi terkadang ada sesuatu yang tak bisa saya lakukan sendiri sebagai manusia.” “Masalahnya saya sendiri tak punya agama yang saya yakini.”

“Kamu percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa?”

Rose mengatup bibirnya.

“Kamu percaya kan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa?”

“Pe-Percaya...”

“Kalau percaya apalagi yang kamu risaukan?”

Rose skakmat.

“Sebelum kamu mencari keyakinan apa yang harus kamu yakini, ya kamu harus yakin dulu kalau keberadaan Tuhan itu ada. Tak mungkin alam semesta dan seisinya ini berputar kalau tak ada pergerakan dari Tuhan.” “Kamu yakin kalau manusia bisa menciptakan alam semesta seluas ini?”

Rose menggeleng cepat, “Gak mungkin lah!”

“Ya sudah, yakini itu dulu. Kalau kamu butuh bimbingan selanjutnya, kamu bisa datangi pesantren keluarga saya di Indonesia.” “Kamu bersedia?”

Gadis itu menunduk, hatinya bergejolak antara ingin dan berat...

“Mas Ibrahim, tidak semudah itu....”

“Semua keputusan ada di tangan kamu, karena masalah keyakinan orang itu adalah hak tiap orang masing-masing.” “Saya hanya mengajak kamu jika memang butuh bimbingan selanjutnya.”

Di tengah pembicaraan keduanya, dering telepon Rose langsung berdentang keras. Gadis itu cepat mengangkat teleponnya dan mengambil jarak dari Ibra.

Pemuda itu kembali meneguk kopinya yang sudah mulai dingin, lalu tak lama juga ponselnya berdering, menandakan telepon dari kakaknya yaitu Mina.

“Halo, kak, kenapa?”

”...”

“Gue lagi ada janji sama orang, kenapa?”

”...”

“Kak, lo gapapa?”

”...”

“Halo? Mina! Mina!”

Teleponnya di matikan secara sepihak. Rose juga selesai dengan percakapannya lalu ia berlari kecil ke arah Ibra.

“Mas saya harus pulang sekarang, makasih ya untuk hari ini!”

“Eh, Mbak Rose! Mbak!”

Bayang-bayang Rose sudah mulai jauh dari jangkauannya. Pemuda itu cuman bisa diam menatap kepergiannya...

sedangkan syal milik gadis itu yang memberinya kehangatan masih ada bersama pemuda itu.