Suddenly Meeting
Bella POV
Setelah mengambil oleh-oleh titipan Papih dari Pak Atang di ruangannya, gue memutuskan untuk duduk di kantin sejenak untuk menghirup atmosfir sekolah. Disini adalah tempat yang menyimpan banyak kenangan masa muda yang gue rindukan.
Ketawa, bercanda, nangis dan semua manis pahit dari gejolaknya perasaan seorang remaja gue habiskan sama-sama disini bersama orang-orang terkasih.
“Mang Topan!” sahut gue ketika melihat sosok pria bertopi yang wajahnya sangat familiar, “Eleuh, Mang Topan yeuh?! Ini Bella!”
Pria yang gue panggil Mang Topan memicing matanya, “Alah si bangor Bella?! Geulis euy sekarang!”
“Hahahaha, Mang Topan kumaha damang?!“
“Damang atuh, Bel! Wah udah berubah pisan si Bella teh jadi feminin kiyeu!”
Mang Topan, beliau ini adalah tukang jualan dimsum langganan kantin dari zaman gue masih sekolah disini. Perawakannya yang gak berubah dan aroma dimsumnya yang memberi banyak kenangan, gue cepat-cepat mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan menyodorkannya cepat ke Mang Topan.
“Kayak biasa, Mang, lumpianya dua, cumi-cumi dua sama yang kepiting tiga.”
“Buset kalo porsi makan tetep gak berubah!”
“Makin gede makin banyak tekanan hidup, Mang, kudu makan banyak!”
Akhirnya gue berdiri menanti makanannya siap di hidangkan,
“Mang Topan! Dimsumnya satu porsi dong!”
Suara bariton serak yang begitu gue kenal sekelibat melintas di telinga gue. Tubuh gue mematung sebentar, aroma maskulin segar ikut mendatangi indra penciuman gue dengan sopan, wanginya menenangkan dan begitu gue menoleh ke samping...
“Mang Topan masih inget gak sama saya?”
“Lah saha deui iyeu si kasep bageur.”
“Hahaha, Abi nih, Bang!”
Mulut gue menganga selebar-lebarnya. Laki-laki yang memperkenalkan dirinya sebagai Abi ikut menoleh ke arah gue, matanya ikut melotot dari balik kacamata beningnya. Kita saling memandang seperkian detik.
“A-Abi...?”
“I-Isabella?”
Gue gak menyangka penantian 5 tahun yang sudah gue kubur dalam-dalam akan berakhir disini dengan pertemuan reuni yang tak di duga.
Dan di tempat penuh kenangan.
“Gimana kabar kamu, Bel?” Abi berusaha mencairkan suasana, di balas anggukan kecil oleh gue yang masih canggung di hadapannya.
“Kamu... di Jakarta sehat, Bi?” gue ikut membuka suara.
“Sehat.”
“Sekarang udah kerja?”
Abi tersenyum hangat, “Alhamdulillah, udah, Bel.”
Gue cuman membalas senyuman lega sambil menundukkan kepala lagi, aura Abi saat ini sudah bukan seperti sosok Abi yang dulu gue kenal sebagai sahabat kecil gue. Dia udah tumbuh jadi pria dewasa yang gagah dan berwibawa. Pembawaanmya berubah 180 derajat.
Gue salut sih sama dia.
“Kamu beda banget sekarang,” kalimat itu keluar dari bibir gue spontan.
Abi mengernyit sambil terkekeh kecil, “Beda... gimana?”
“Lebih keren aja gitu, dewasa juga. Gak kayak Abi yang Bella kenal dulu.”
Dia cuman ketawa geli, “Kamu juga. Udah jago dandan, jadi lebih anggun dan nenangin.”
Gue bisa merasakan kedua pipi gue lagi bersemu merah. Bisa-bisanya kalimat itu keluar dari bibir Abi di saat kita udah berpisah 5 tahun kayak gini.
Tangan gue cepat meraih sumpit dimsum lalu mencapit salah satu dimsum ke dalam saos sambal dan melahapnya. Abi juga ikut melahap makanannya kikuk di hadapan gue.
“Kamu udah kerja juga, Bel?”
“Udah.”
“Jadi apa?”
“Guru biologi di sekolah swasta Jakarta.”
“Guru? Bukannya kamu mau jadi dokter?”
“Realistis aja sih, nilai aku yang segitu mana cukup masuk kedokteran. Bisa dapet FMIPA aja udah syukur-syukur.” “Sekarang aku mau jadi orang yang bermanfaat aja sebagai guru. Biar aku yang cetak para calon dokter sukses nanti.”
Abi mengulum senyum simpul, “Hebat kamu, Bel.”
“Abi sendiri kerja jadi apa?”
Pemuda itu menghela nafas, “Sekarang aku masih jadi staff kantoran aja karena kontrak. Ya tapi tetep Alhamdulillah aku jauh lebih sejahtera sekarang hanya saja... aku masih butuh waktu satu tahun lagi untuk bisa ngejar cita-cita aku.”
“Cita-cita? Emang Abi cita-citanya mau jadi apa?”
“Mau jadi pengacara dan bangun firma hukum sendiri.”
Sumpah
17 tahun kita tumbuh dan hidup sama-sama, gue baru tahu mimpi Abi yang sebenarnya. Dulu gue kemana aja? Gue terlalu sibuk mikirin diri sendiri.
“Wow mimpi kamu keren, Bi...” gue mendecak kagum pelan.
Abi cuman nyengir karena tersipu malu.
Sekali lagi gue memandang fitur wajah Abi yang semakin terlihat dewasa. Gue gak bisa bohong kalau sekarang Abi tuh ganteng banget, beneran, dia sekarang jauh lebih ganteng dengan kondisinya sekarang. Penampilan rapihnya dengan kemeja berlengan pendek dan rompi rajut berwarna krem, hati gue sedari tadi gak bisa berhenti berdesir karena kehadirannya.
“Kamu nginep disini ampe kapan?”
“Besok paling aku pulang ke Bandung dulu ke tempat Papih Mamih, sekarang aku masih mau nostalgiaan sampe puas dulu disini.”
Abi berinisiatif, “Kalau gitu pulangnya aku anterin mau?”
Gue cukup kaget dengan tawarannya barusan. Dia bilang mau anterin gue?
“Ngerepotin gak?”
“Enggak santai aja, aku sekalian mau mampir ketemu Papih Mamih setelah sekian lama.”
Gue menatap lekat-lekat kedua netra Abi.
“Abidzar.”
“Apa?”
“Kamu teh... punya pacar?”
Dia cukup tersontak dengan pertanyaan to-the-point gue.
“Iya, punya.”
Owalah.