Perbincangan Kita

Sekarang gue udah duduk di hadapan Mas Haidar yang masih berkutat dengan laptopnya. Sekarang bukan saatnya gue untuk ngambek karena di cuekin, tapi gue lagi mengawasi tanda-tanda bahaya yang akan muncul setelah ini.

Mas, aku udah gak mau diem gak bergerak.

Kalo beneran Nafisa mengganggu kehidupan kita.

Maka terpaksa aku harus mencari cara untuk menyingkirkannya, tentunya dengan cara yang baik. Tenang aja, aku gak sejahat itu untuk dzalim sama orang.

“Dek, kamu ngelihatin saya kayak gitu, kamu bosen?”

Gue menggeleng cepat sambil tersenyum tipis, “Enggak kok, cuman lagi lihat-lihat kantor kamu aja. Menurut aku nyaman kok, meskipun harus tidur di sofa.”

“Iya gapapa kamu tidur di sofa, saya tidur disini aja.”

Mas Haidar kembali fokus dengan laptopnya, gue berdiri dari tempat gue dan berjalan-jalan mengambil beberapa buku yang tersusun rapih di lemari kayu putih itu. Gue cukup terkejut dengan buku yang di atasnya tertulis nama Mas Haidar, dimana itu adalah buku yang di tulis oleh Mas Haidar.

“Oh ini buku tulisan kamu, Mas?”

Mas Haidar mendongak sebentar, “Iya.”

“Buku apa nih? Tentang agama kah?”

“Filsafat Islam.”

“Oh... jadi pekerjaan kamu tuh penulis ya?”

“Ya begitulah.”

“Aku baru tahu lho, Mas, kupikir kamu itu pengajar semacam dosen atau ustadz gitu di pesantren.”

“Itu cuman nyambi aja, saya emang belum cari pekerjaan tetap karena dulu sibuk persiapan ke Kairo. Sekarang saya kan harus fokus ngurus pesantren sekaligus nulis buku lagi.”

“Aneh deh, kita tuh udah nikah berapa bulan tapi masih banyak hal yang aku gak tahu dari Mas Haidar.”

Mas Haidar mendongak lagi kepalanya, “Kamu ada masalah apa? Saya buat salah lagi sama kamu?”

“Enggak, cuman heran aja kok, kenapa kita masih belum kenal satu sama lain gitu lho.” “Makanya aku suka ragu, apakah hati Mas Haidar udah aku milikkin sepenuhnya atau belum...”

“Maryam, tingkah kamu hari ini cukup aneh. Kalau memang saya ada salah, tolong bilang biar saya bisa perbaiki semuanya.” “Kamu kesal karena saya sering tinggal sendiri di rumah? Kamu mau saya pulang sekarang?”

“Kalau Mas mikirin aku sih, tanpa aku minta harusnya Mas pulang ke rumah.” “Kayaknya buat Mas lebih asyik di pondok daripada di rumah sama istrinya.”

Mas Haidar melepas kacamatanya kasar, mengusap wajahnya frustasi sambil terus menekan kedua matanya yang sudah sangat kelelahan, “Tolong, Maryam, jangan pancing saya sekarang... kamu harus tahu saya disini benar-benar untuk menyelesaikan buku saya. Waktu tidur saya tidak teratur selama disini karena pekerjaan saya.” “Saya juga maunya pulang, leha-leha sama kamu tapi nyatanya pekerjaan saya banyak. Saya males bawa pulang pekerjaan saya karena saya takut nanti gak fokus, saya maunya pulang dalam keadaan pekerjaan saya beres semua dan menghabiskan banyak waktu sama kamu.”

“Setidaknya Mas minta aku dampingin Mas gitu lho, masalahnya Mas gak mau—”

“Maryam, saya ini memikirkan kamu. Kamu ini mahasiswa tahun terakhir, bukannya kamu harus persiapan skripsi? Apa kamu udah ajuin judul skripsi kamu? Saya gak mau membebani kamu—”

“Nafisa mana?”

Mas Haidar tersontak, “Hah? Nafisa kenapa?”

“Ya Nafisa ada dimana? Aku mau nyapa aja, gak boleh?” “Aku juga bawa coklat yang banyak untuk Akbar.”

Gue bisa melihat Mas Haidar menghempas nafasnya kasar sambil menatap gue heran, “Ada di kamarnya palingan, atau cari aja di saung, setahu saya ada kelas santriwati disana.”

Akhirnya gue menyambar tas totebag yang ada di atas sofa dan melengos pergi begitu saja tanpa pamit. Gue mencari-cari lokasi yang di sebut Mas Haidar barusan dan benar, gue ketemu Nafisa dengan anaknya di saung berdua. Terlihat Nafisa sedang membaca buku bersama Akbar, sedang bermain mobil-mobilan seraya monolog sendirian.

“Mbak Nafisa!”

Nafisa menoleh ke arah gue, dia langsung memasang wajahnya sumringah dan meletakkan bukunya begitu gue menghampiri dia lebih dekat.

“Anela... lama gak ketemu ya, gimana kabar kamu?”

“Baik, Alhamdulillah, oh ya ini... oleh-oleh coklat untuk Akbar!”

Wajah Nafisa menampilkan senyuman bahagianya, dia memberikan coklatnya itu kepada putra semata wayangnya dan gue duduk di samping Akbar sambil mengusap lembut puncuk kepala anak laki-laki itu.

“Gimana di pondok?“gue membuka topik, meskipun hati gue gusar ketika menatap kedua mata hazel milik Nafisa itu, tapi sekuat tenaga gue berusaha tegar dan berlaku seperti tak ada apa-apa.

“Alhamdulillah, baik, Nel. Aku dan anakku bisa mendapatkan tempat berteduh yang baik disini. Terima kasih banyak ya, bagaimanapun juga... suamimu yang banyak membantuku, Nel.” “Dari dulu aku mau ngobrol banyak sama kamu, Nel, karena dengan adanya kamu... aku melihat Haidar sekarang jauh lebih bahagia dengan hidupnya.”

Gue cuman tersenyum kikuk, gue sendiri gak yakin sama ucapannya Nafisa tapi... ya gue cuman bida senyumin aja sih.

“Kamu... tahu kan tentang masa laluku dengan Haidar?”

Belom juga siapin nyali buat topik itu, dia udah buka topik duluan.

“Iya, beberapa.”

“Ah gitu... begini, Anela—”

“Saya gak peduli dengan masa lalu kamu sama Mas Haidar, Mbak.”

Nafisa tersontak, dia sedikit kaget begitu nada bicara gue mulai meninggi di hadapannya.

“Suami saya, adalah pria yang baik dan berhati lembut. Dia sudah menolong banyak orang termasuk saya sendiri, dia juga menolong sahabat saya yang dulu hampir bunuh diri, dia... memiliki rasa empati yang cukup besar dengan saudara sesamanya, Mbak.” “Begitupun sekarang dengan Mbak Nafisa, Mas Haidar itu hanya bersimpati dengan situasi Mbak Nafisa dan Akbar.” “Di masa lalu, mungkin Mas Haidar milikmu tapi sekarang dan kedepannya, Mas Haidar itu milik saya.”

Nafisa menatap gue shock, dia menarik nafasnya dalam-dalam dan meremas ujung gamisnya itu gemetar. Gue rasa gue terlalu keras tapi... entah kenapa bibir gue bergerak sendiri begitu saja.

“Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, dan sebelumnya... aku mau minta maaf sama kamu, Anela.”

Nafisa meraih tangan gue dan menggenggamnya erat.

“Aku tahu, kehadiranku disini bisa menjadi parasit bagi kalian. Aku sendiri gak menginginkan ini, Nel, tapi... aku lemah kalau itu sudah menyangkut soal anakku, Akbar”Nafisa menatap Akbar yang masih asyik memakan coklat dari gue, “Akbar... harus kehilangan peran Ayahnya dari bayi karena keegoisan orang tuanya. Pada saat itu, memang kami berdua salah sebagai orang tuanya, dan sekarang aku sebagai orang tua tunggalnya harus berjuang mati-matian demi kebahagiaan anakku...” “Rasanya sakit, Nel, ketika kamu menyesal telah membuang permata berharga hanya demi sebongkah beling yang kedepannya akan melukaimu. Dan itu adalah perasaan yang aku rasakan ke Haidar selama ini.” “Haidar itu pria yang sangat baik memang, bahkan sekarang dia juga berusaha menyayangi anakku dan memerhatikannya karena dia tahu kalau anakku kehilangan peran Ayahnya. Aku juga gak begitu nyaman dengan perhatian Haidar sekarang dengan anakku tapi... anakku bahagia dengan itu, Nel.” “Makanya... kalo kamu seandainya mau marah sama aku gapapa, kalau kamu menganggap aku ini parasit gapapa, karena aku sendiri sedang mencari cara untuk bisa mandiri dan keluar secepatnya dari sini...” “Aku gak mau merusak kebahagiaannya Haidar yang kedua kalinya.”

Gue bisa melihat Nafisa disana terlihat menahan air matanya dan cepat menghapus air matanya itu sebelum jatuh ke pipi.

“Anela... percayalah, Haidar itu memang mencintaimu, dia benar-benar ingin menjadikan kamu wanita satu-satunya dalam hidupnya...” “Aku bukanlah siapa-siapa lagi dalam hatinya, jadi jangan pernah ragukan hatinya, Anela... dia memang milikmu sekarang.”

Ya Allah... selama ini apa yang kupikirkan tentang Nafisa? Jadi selama ini... semua prasangka burukku ini tak terbukti?

“Mbak Nafisa... maaf saya tadi sempat berpikir yang enggak-enggak...”

Nafisa menggeleng, “Maaf, aku egois demi kebahagiaan anakku. Aku akan coba mendidik anakku untuk lebih menerima keadaan...” “Terima kasih dan maaf untuk semuanya, Anela...”

Di detik itu, kami berdua berpelukan erat dan saling menjatuhkan air mata haru. Ternyata benar apa yang dibilang Aisyah, terkadang suudzon yang ada di dalam hati itu gak bisa kita turutin terus dengan ego.

Tapi dengan mencari, lalu berdamai dengan pikiran kita.

Hati gue jauh lebih lega sekarang di bandingkan sebelumnya.