Makan Malam Keluarga

Kedatangan kita berdua langsung di sambut hangat oleh Papa dan Mama. Mereka memeluk Mas Haidar erat mengucapkan selamat dan tak lupa mereka juga menyapa dua malaikat kecil yang ada di dalam perut gue.

Wajah Papa kelihatan bahagia banget bahkan baru kali ini gue lihat senyuman selebar itu di wajah Papa.

“Ayo, masuk sini, makanannya udah jadi!”

Papa menuntun kita ke ruangan makan, disana sudah tersaji berbagai makanan mewah, padahal tadi gue udah makan tapi lagi-lagi gue meneguk saliva gue, perut gue ngeberontak lagi meminta gue untuk menyantap sajian malam ini.

“Ayo, kalian harus makan yang banyak! Jadi orang tua itu butuh tenaga banyak, sini, Haidar, terutama kamu sebagai Ayah nih, ambil nasi yang banyak!“sahut Papa heboh

Gue bisa melihat wajah Mas Haidar itu memucat pasi.

“Mas... masih kenyang ya?”

“I-Iya... tapi mau gimana lagi...”

“Aku bilangin Papa deh?”

“Jangan! Udah gapapa saya ikut makan aja.”

Mas Haidar mengambil tempat duduk di samping gue dan matanya itu membulat sempurna begitu Papa memberikannya sepiring nasi jumbo. Jujur aja, ekspresi Mas Haidar sekarang tuh lucu banget, baru kali ini juga Mas Haidar kelihatan gak berdaya kalau di depan Papa.

“Anela sayang, nih, Mama bikin sop ikan! Bagus lho ini untuk dede bayi di perut kamu!”

*Aduh... sop ikan lagi...”

Kalian harus tahu, gue tuh gak suka banget sama ikan. Serius. Baunya amis dan menjengkelkan, dan sekarang gue di paksa makan sop ikan yang baunya aja udah bikin gue mual-mual.

“Kok gitu sih ekspresinya?! Ini bagus untuk kecerdasan anak kamu!”

“Uh... Anela gak kuat sama baunya...”

“Kamu tuh ya, selalu gitu! Ayo dong di makan, sehat nih!”

Papa menyergah, “Udah gapapa, Ma, kalo Anela gak mau. Nanti dia muntah disini repot.”

Gue memaut bibir gue manja, akhirnya Mama menyerah untuk maksa gue makan sop ikan dan kami menikmati santapan malam ini dengan khidmat. Papa memberikan berbagai pertanyaan tentang kehamilan gue dan juga perasaan kita sekarang.

Tapi tiba-tiba Bang Jeffry...

“Pa, Ma, Abang mau lamar cewek.”

OHOK OHOK, gue langsung tersedak-sedak dengan makanan gue. Mas Haidar juga disitu menghentikan sendoknya di atas piring.

“Mau lamar cewek?! Siapa?! Dimana?!“sontak gue kaget

“Di Australia, gue mau pindah kesana sekalian lanjut studi.”

Gue dan Mas Haidar saling bertukar pandangan, kita masih gak percaya dengan kabar yang diberikan oleh Bang Jeffry.

“Bang, yang bener lu ah?”

“Seriusan, dek...”

“Sejak kapan lu...?”

“Baru beberapa bulan yang lalu, gue lagi ngisi seminar terus ketemu sama satu peserta yang menarik perhatian gue terus yaudah gue ajak kenalan.”

“Baru kenal beberapa bulan udah mau di lamar?”

“Kenapa emang? Dianya juga mau yaudah tinggal bawa Papa sama Mama kesana buat lamar dia secara resmi.”

Mas Haidar menepuk bahu Bang Jeffry, “Selamat, Bang, semoga lancar ya sampe hari-H pernikahan.”

“Aamiin, thanks, bro.” “Kedepannya gak bakal lagi gua dibully sama lu pada soal kawin, hahahahaha...”

Gue cuman ketawa garing.


Author POV

Sekarang Haidar dan Papa mertuanya itu sedang duduk berdua di kursi samping kolam renang, mereka menikmati secangkir kopi Vietnam yang tlah disajikan pelayannya.

“Haidar.”

Haidar merespon dengan tolehannya, sorot mata Darren seketika jadi serius.

“Kamu sudah dapat kabar tentang Eyang Indra?”

Haidar menggeleng, “Belum, Pah, saya pikir beliau ikut acara makan malam kita disini.”

Pria paruh baya itu menunduk lesu sambil membuka ponselnya. Ia menunjukkan satu gambar dimana disitu menampilkan sosok Eyang Indra yang terbaring lemah di rumah sakit dengan berbagai infus dan selang di tubuhnya.

“Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un, Eyang kenapa, Pah?!”

Darren langsung mengisyaratksn satu jari di depan bibirnya, “Jangan sampai Anela tahu.” “Eyang... udah lama kritis di rumah sakit. Rencananya malam ini mau di bawa ke Beijing untuk pengobatannya cuman dia nitip pesan sama saya untuk kamu.”

Darren memposisikan lagi badannya tegap, “Haidar, Eyang Indra itu sangat percaya sama kamu. Sewaktu-waktu Eyang meminta kamu untuk menggantikan posisinya di perusahaan keluarga kami, saya harap kamu bersedia.”

Dada Haidar langsung gusar mendengarnya, bagaimana bisa amanah sebesar ini harus Haidar tanggung di saat dia sedang mendampingi istrinya yang sedang hamil?

“Tapi, Pah, saya mau fokus mendampingi Maryam—”

“Tidak sekarang kok, sampai saat ini semua urusan perusahaan masih ada di bawah tanggung jawab saya tapi... bagaimanapun juga saya sudah menua, Haidar, performa kerja saya sudah tidak sebagus dulu. Sejak dulu, Eyang selalu menyebut nama kamu sebagai pemuda yang dia percayakan. Awalnya memang saya meragukan kamu, tapi semenjak saya mengenal kamu lebih jauh... sekarang saya paham kenapa Eyang begitu percaya sama kamu.” “Jadi saya harap kamu tidak menolak amanah ini, kamu gak perlu merasa terbebani, kamu fokus aja dampingi Anela, tapi sewaktu-waktu kami membutuhkan kamu... kamu harus siap kapan saja.”

“Papa! Mas Haidar!!”

Sahutan melengking Anela memotong percakapan serius kedua pria itu, senyuman polos Anela itu meremas hati Darren karena begitu banyak hal yang putrinya itu tidak ketahui.

“Ayo sini! Kita makan kue!”

Darren menoleh lagi ke Haidar, “Tolong, Haidar, jangan beri tahu soal ini sama Anela.”

Haidar mengangguk lesu, “Baik, Pah...”

Eyang... apa yang harus saya lakukan? Kenapa saya...?