Kita Yang Sesungguhnya

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam, Mas Haidar...”

Gue langsung menghampiri menyambut kehadiran Mas Haidar, gue mengecup tangannya seperti biasa, dan membawa beberapa barangnya yang dia bawa ke kamar. Mas Haidar menatap gue bingung, “Maryam.”

“Hm?”

“Ada yang mengganggu pikiran kamu kah?”

Gue menghela nafas panjang, “Enggak kok, Mas bersih-bersih dulu gih, nanti langsung makan malam disini ya.” “Mas mau susu hangat atau teh hangat?”

Mas Haidar bergeming, “Uh... boleh teh hangat...”

“Yaudah, tunggu ya.”

Gue kembali bergegas ke dapur untuk membuatkan secangkir teh hangat untuk suami gue.

Author POV

Begitu Haidar sudah bersih dengan kaus oblong putihnya dan rambut setengah basah, matanya memencak begitu melihat berbagai hidangan mewah yang di sajikan oleh istrinya itu. Laki-laki gagah itu menatap lagi ekspresi nanar wanita kasihnya, seolah tersirat pesan untuknya, Haidar yakin bahwa saat ini Anela sedang tidak baik-baik saja.

“Nih, kalo mau nambah bilang aja, ntar aku panasin. soalnya sisanya aku taruh kulkas biar bisa dimakan untuk besok”ujar wanita itu sambil menyibak rambut sebahunya itu ke belakang.

Haidar meletakkan garpunya di atas piringnya, “Maryam, sebenarnya ada apa sama kamu?”

Anela menghentikan gulungan spaghettinya, ia ikut meletakkan garpunya di atas piring, “Enggak kok, aku gak kenapa-kenapa.”

“Sorot matamu tidak mengatakan kamu baik-baik saja.” “Mumpung saya disini, katakan aja semuanya sama saya, Maryam. Saya tahu kok kamu memendam semuanya sendirian.” “Bukannya kamu yang bilang sama saya untuk saling terbuka dan komunikasi satu sama lain?”

Anela tersenyum miris, “Gak ada yang harus di bicarakan lagi, ini cuman berputar dengan masalah yang sama, Mas.” “Tapi ya sudah, aku gapapa kok.”

TEP. Haidar meraih tangan Anela dan menggenggamnya erat-erat, memberikan keyakinan penuh untuk istrinya itu agar ia mau mengatakan hal yang sebenarnya dengan Haidar.

“Mas...”

“Katakan semuanya, Maryam, apapun itu saya terima.” “Saya tahu, saya banyak melukai hati kamu. Saya harap dengan kamu bilang semua uneg-uneg kamu sama saya, itu bisa sedikit membantu kamu untuk lega.”

Akhirnya benar, tangisan wanita mungil itu langsung pecah dengan kehangatan yang dibawakan suaminya dari usapan lembut tangan suaminya yang besar nan kasar itu.

“Mas... Aku capek... Aku capek menduga-duga, aku capek overthinking soal perasaan kamu sama aku, Mas... aku selalu berpikir apakah aku udah milikkin hati kamu sepenuhnya? Aku sama sekali gak lihat di mata kamu itu ada aku, Mas...”

Haidar menghela nafasnya, ternyata benar selama ini dia sudah menyakiti hati wanita kasihnya itu.

“Tidak, Maryam... jangan berpikir kayak gitu...”

“Mas, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?”

“Apa?”

“Apa masa lalu kamu dengan Nafisa itu sudah selesai?”

DHEG! Ungkapan itu menyentil hati kecilnya Haidar.

“Perasaan, kenangan dan kisah lalu kalian... udah selesai kan?”

“Sudah selesai, Maryam.”

“Secara sepihak? Cuman karena Nafisa pada saat itu menikah dengan orang lain?” “Aku mau Mas merenungkan lagi deh perasaan Mas, sekarang Nafisa sudah tidak dimiliki siapa-siapa. Kalau Mas ada kesempatan untuk membangun lagi hubungan sama Nafisa, apa Mas mau melakukannya?”

Haidar mengatup mulutnya rapat-rapat, dia kehabisan kata-kata untuk membalas pertanyaan istrinya itu, semua serba salah. Jujur atau tidak, jawaban Haidar nanti pasti akan jadi boomerang tajam baginya.

“Maryam, tolong dengar saya dulu—”

“Jawab, Mas. Karena ini menyangkut masa depan kita nanti.”

Jantung Haidar lagi-lagi tersentak, namun pria berparas eksotis itu menegakkan tubuhnya dan mulai mengumpulkan nyalinya untuk menjawab pertanyaan istrinya.

“Saya gak tahu jawaban saya memuaskan kamu atau tidak, tapi saya menjawab ini sejujur-jujurnya dari lubuk hati saya yang paling dalam.” “Jawabannya, tidak, Maryam. Mau ada kesempatan atau tidak, yang namanya kisah lalu itu gak ada gunanya untuk di ulang kembali. Dari awal pertemuan saya dengan Nafisa, menurut saya itu sudah bukan pertanda jodoh. Nafisa hanya sebagian cerita cinta yang pernah saya lalui di masa lalu, jadi ya sudah, cukup sampai disitu.” “Saya gak akan mau terjebak nostalgia lagi dengan masa lalu, jadi saya tidak akan mau mengambil kesempatan itu.”

Anela menatap lurus mata suaminya itu, ia menundukkan sedikit kepalanya sambil mengait satu helai rambutnya itu di telinga, tangan mungilnya membalas genggaman tangan suaminya yang erat dan hangat.

“Itu jawaban Mas?”

“Iya.”

“Oke kalau begitu, aku...percaya dengan semua apa yang Mas bilang tadi.” “Mulai sekarang kita mulai semuanya dari awal, aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu dan aku juga mohon sama kamu... tolong jaga aku baik-baik.” “Kita fokus dengan kita berdua, kita bangun keluarga kecil kita dan kita bahagia sama-sama, bisa kan?”

Haidar mengangguk mantap, “Inshaa Allah, kita bisa, Maryam.”

“Satu lagi, Mas.”

“Apa?”

“Aku cuman mau bilang, meskipun aku seorang mahasiswa bukan berarti aku gak bisa mengerjakan tugasku sebagai istri.” “Sekarang dunia dan akhiratku ada di kamu, Mas, jadi ridhomu sebagai suami di atas segala-galanya di banding apapun.” “Kita sama-sama merindukan syurga-Nya, kan?”

Haidar mengangguk purau sambil menarik tubuh Anela ke dalam pelukannya. Hatinya benar-benar terenyuh dengan kebesaran hati sang istri, Haidar sampai tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya itu terhadap sosok Anela.

Anela Haliza Maryam... kamu memang tumbuh menjadi wanita yang sangat mengagumkan... saya bersyukur bisa memiliki kamu sebagai bagian dari hidup saya...

“Terima kasih, Maryam... kamu sudah mau bertahan dan terus menetap menjadi istri saya...” “Saya janji, saya akan melakukan tugas saya sebagai seorang suami dengan baik. Kita sama-sama terbang ke syurga-Nya, ya...”

“Iya, Mas... terima kasih juga sudah mau membimbingku dan menjadikan aku sebagai istrimu dengan berbagai kekurangan yang aku miliki...” “Kita sama-sama terus ya, Mas...”

Haidar melepas sejenak kaitan pelukannya sambil menatap sayu wajah cantik istrinya, “Maryam, kamu... lagi capek gak?” “Malam ini kamu siap?”

Anela mendongak kepalanya sambil terkekeh, “Apa aku punya alasan untuk menolak, Mas?”

Haidar tertawa renyah sambil mengeratkan lagi pelukannya.

“Kalau gitu ayo ambil wudhu, kita shalat sunnah 2 rakaat dulu.”

Anela mengangguk nurut, Haidar dengan sigap menggendong tubuh istrinya itu bak tuan putri menuju kamarnya...

Mereka menjalani beberapa adab kewajiban suami-istri seperti bersuci dan melaksanakan shalat sunnah 2 rakaat, lalu berdoa meminta perlindungan sebelum melakukan hajatnya...

dan akhirnya malam ini kembali menjadi malam yang panjang bagi mereka, yang kedua kalinya 😊