Dilema Nathan

Pagi itu, tanggal 23 Juni 2018...

Itu pertama kalinya gue merasa berhutang budi sama orang.

Dan orang itu lo, Bel.

“Eleuh... eleuh... bocah madesu ngacauin pemandangan sekolah idaman gue aja nih, MINGGIR LO SEMUA HEH!!!”

“Dih, cewek mana nih? Neng, teu sieun kita apa-apain nih?! Hayo... hayo...”

Wajah lo yang judes itu mendecih remeh dan satu layangan kaki lo berhasil mendarat sampai ke pelipis kepala Hugo, badak raksasa yang memang selalu ngusik kehidupan gue selama di SMP.

Dan lo orang pertama yang berhasil ngalahin Hugo.

“Ngapain takut sama anak setan? JUSTRU KUDU DI LAWAN SAMPAI MAMPUS!!” “MAJU LO SINI SATU-SATU!!!”

Melihat Hugo yang gak berhenti mengeluh kesakitan akibat tendangan kaki maut lo, akhirnya para rombongan biang kerok itu kabur dan gak mengganggu gue lagi.

Di detik lo membalik badan dengan rambut panjang yang menyibak ke belakang... pertama kalinya mata gue memencak lebar karena seorang cewek.

“Kamu gapapa?“suara lo yang melengking tapi terdengar menggemaskan... lo berhasil membuat jantung gue berdebar tak karuan.

“Ga-gapapa, makasih ya...“ucap gue malu, malu banget karena gue di lindungin sama cewek secantik lo, Bel.

Lo tersenyum lebar, “Jadi cowok tuh harus berani ngelawan! Jangan mau di bully sama sampah kayak dia! Masa laki-laki dibela sama perempuan?” “Kamu mau masuk SMA sini juga kan? Kalo kita ketemu, kamu harus berubah jadi cowok kuat dan keren! Bikin si badak tadi jadi takluk sama kamu!”

Netra cantik lo menangkap ke arah kacamata gue yang posisinya sudah miring, dengan lembut lo membetulkan posisi kacamata gue dan memberikan satu kedipan mata usil yang sukses membuat gue susah tidur malamnya.

“Sampai ketemu nanti ya!”

Gue bertekad untuk berubah demi lo, Bel.


Sekarang Bella ada di depan mata gue, dengan celemek kelincinya dia sedang menyendok satu piring spaghetti carbonara yang ingin dia hidangkan untuk gue. Jujur aja, gue bahagia banget bisa diperlakukan spesial gini sama lo.

“Nih, kalo mau nambah tinggal bilang sama Bella, hehehe...“pinta Bella dengan tawa cengirnya yang imut itu, gue cuman terkekeh geli.

“Mana mungkin nambah, Bel, kalo udah dikasih satu abrek gini”balas gue sambil menunjukkan satu piring spaghetti yang memang sangat banyak Bella hidangkan ke gue

Dia kembali ke dapurnya dengan langkah jinjitnya yang gembira.

Begitu gue menyendok satu suap, dua suap dan suapan lainnya..

“Assalamualaikum...!!”

Gue kenal suara ini.

“Wangi banget nih, Mamih masak yaa??!!”

Pupus sudah momentum ini.

“Jiah, gua kira Mamih ternyata nenek lampir!”

“Seenaknya kalo ngomong, gue abis bikin carbonara nih!”

“Widih gaya banget, mau dong!”

“Sini, sini! Eh, Bi, katanya mau bawain bakpia lagi yang banyak??”

“Ini gue bawain, inget kok...”

Kalian tertawa bersama, jauh lebih bahagia.

“Mau nyobain dong carbonaranya, Bel.”

“Yaudah ambil.”

“Suapin satu suap...”

Hati gue cuman bisa meringis melihat adegan itu tepat di depan mata gue.

“Enak gak, Bi?”

“Enak! Nambah dong!”

“Yaudah ambil aja piringnya sendiri! Gue mau makan disana bareng Nathan!”

Abi menoleh kaget ke arah gue, “LAH NAT? DARI TADI LO DISITU??!!”

Sialan lo, Bi.